...

I am strong, because I am weak...
I am beautiful, because I know my flaws...
I am a lover, because I have been afraid...
I am wise, because I have been foolish...
And I can laugh, because I’ve known sadness...
Feeds RSS
Feeds RSS

10 Des 2010

LULUs

Locally Undesirable Land Uses

Beberapa hari yang lalu, saya menemukan selembar kertas kecil berada di teras depan rumah saya. Judul besarnya adalah PENGUMUMAN. Isinya kira-kira sebagai berikut:

Bersama ini diberitahukan kepada seluruh penarik roda sampah untuk sementara waktu tidak melakukan pembuangan sampah ke TPS. Mulai dari hari Senin sampai dengan hari Rabu, tanggal 22 sampai dengan 24 November 2010. Hal berkaitan dengan kegiatan demo yang dilakukanwarga tiga desa (Rajamandala, Mandalasari, & Sarimukti) yang ada di sekitar TPA Sarimukti.
Demikian hal ini disampaikan agar menjadi maklum adanya.
Terimakasih.
(PD Kebersihan Kota Bandung)


Hal yang menarik perhatian saya, bukan karena kenyataan bahwa kertas pengumuman itu berada di teras rumah saya sementara di rumah saya tidak ada yang berprofesi sebagai penarik roda sampah. Melainkan pada kenyataan bahwa setelah Bandung pernah diresmikan sebagai kota lautan sampah pada tahun 2005 menyusul peristiwa ledakan TPA Leuwi Gajah yang berakibat pada lebih dari 100 orang meninggal dunia tertimbun sampah, kejadian krisis sampah terjadi lagi di kota tercinta ini. Selain itu, kejadian ini ternyata tidak terjadi satu kali ini saja. Setiap tahunnya setelah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dipindah ke Rajamandala, di musim penghujan, warga sekitar resah akibat bau tidak sedap yang ditimbulkan oleh cairan sampah yang mengalir ke permukiman, kekhawatiran sampah akan longsor, atau gas metan yang dihasilkan oleh sampah tersebut akan meledak tersambar petir, sehingga warga tersebut mengadakan unjuk rasa memblokir pengangkutan sampah ini.

Saya ingat betul, di tahun itu saya sudah kuliah tingkat 3. TPS Taman Sari yang terletak di dekat kampus saya overload karena tidak ada kegiatan pengangkutan sampah. Walhasil, beberapa hari kemudian, muncul belatung-belatung gemuk dari tumpukan sampah itu. Hiiiiy. Bau busuk lagi. Tempat fotokopian murah meriah yang letaknya tepat di belakang TPS juga menjadi tidak laku. Kasian Uda dan Uni pemilik fotokopian itu.

Terlebih, saat itu di kampus saya, di departemen kami, ada kunjungan balasan dari departemen yang sama dari universitas negeri tetangga. Herannya, saya bukan merasa malu malah senang. Haha. Biar malu sekalian departemen perencanaan yang katanya yang pertama berdiri se-Asia Tenggara ini, kampus yang katanya terbaik se-Indonesia ini, pemerintah daerah ini, negara ini sekalian. Hehe. Ga wise memang. Karena toh kan saya juga bagian dari departemen itu, kampus itu, kota itu, negara itu. Sekarang, saat saya sudah lebih mengerti, saya lebih concern memikirkan issue seperti ini. Secara, neneng kan planner ceritanya. :P

Tempat pembuangan sampah akhir adalah salah satu contoh LULU, Locally Undesirable Land Use. Tempat-tempat seperti ini hanya bisa dialokasikan pada skala regional. LULU adalah tempat-tempat atau fasilitas yang diakui kebutuhannya oleh semua orang, namun tidak ada satu orangpun yang bersedia jika tempat/ fasilitas tersebut berada dekat dengan lingkungannya. Istilahnya, 'gue butuh sih tapi jauh-jauh deh!' Oleh karenanya, seringkali LULU 'dibuang' ke lokasi-lokasi dimana komunitas yang tinggal di dalamnya adalah komunitas yang lemah resistensinya baik secara sosial, ekonomi, maupun politik.

Terkait dengan persampahan, sepertinya ga akan habisnya kalau kita mengandalkan pendekatan sanitary landfill yang biasa digunakan hingga saat ini. Lama-lama tidak akan ada lagi lahan yang bisa digunakan sebagai tempat pembuangan sampah. Pengelolaan sistem sanitary landfill di negara kita juga belum cukup baik. Kisah sukses tentang sanitary landfill yang pada akhirnya digunakan sebagai lahan produktif sepertinya belum terdengar. Sementara itu, penduduk terus bertambah. Artinya sampah dan limbah terus bertambah pula. Budaya menggunakan daun pisang sebagai bungkus makanan atau keranjang rotan untuk belanja juga sudah mulai punah dan digantikan dengan kantong plastik kresek.

Saya jadi ingat tawaran topik Tugas Akhir saat saya masih kuliah dulu. Diantara topik dari Kelompok Keahlian Perencanaan Kota ada satu topik yang menyinggung tentang peran wanita dalam penanganan persoalan persampahan di Kota Bandung. Nampak tidak logis? Logis banget malahan kan ya? Umumnya, persoalan sampah ibu-ibu yang berkuasa. Yang bisa berperan memilah sampah sejak dibuang. Ibu-ibu juga punya kuasa memberi pengertian seisi rumah tentang pemilahan sampah dan membudayakan penanganan sampah yang baik mulai dari skala rumah tangga. Saya jadi ingat teman saya waktu SD. Dia punya rumah di daerah Pasir Layung, Bandung dan memiliki anjing kecil yang galak bernama Ciko. Tapi intinya bukan itu. Di rumahnya, sudah diterapkan pemilahan sampah dan composting. Hebat ya. Jika Ciko sedang baik dan tidak sering menyalak, saya sering pergi ke halaman belakang teman saya itu untuk menengok bak-bak sampah yang sudah terpilah dengan baik. Yang organik kemudian dijadikan pupuk oleh bapaknya teman saya ini, karena kebetulan beliau suka sekali bercocok tanam.

Kontradiktif dengan hal itu, saya sebal dengan plang yang berada di Jalan Cihampelas. Disana ada tulisan "Sampah dan limbah adalah musuh orang sehat", dengan paradigma yang gamang seperti itu sampah sepertinya harus dibuang jauh-jauh dari kehidupan kita, tanpa peduli kemana kita membuangnya. Yang penting jauh deh. Mau ke sungai, ke lembah, kaki gunung. Pokoknya jauh!
Nah, persepsi ini yang harus kita ubah. Yuk mari! :)

0 comments:

Posting Komentar