...

I am strong, because I am weak...
I am beautiful, because I know my flaws...
I am a lover, because I have been afraid...
I am wise, because I have been foolish...
And I can laugh, because I’ve known sadness...
Feeds RSS
Feeds RSS

11 Des 2010

Highway

Cerpen

Awan mendung menggelayut malas di atas kilometer 14. Di sini, di ruas tol yang membelah kawasan Bekasi. Kemacetan belum juga terurai. Sudah sore, kira-kira setengah empat. Biasanya perjalanan Bandung-Jakarta tidak terhambat di ruas jalan yang ini.

Macet. Aku jadi teringat buku yang baru aku baca. 'The Smart Growth Manual' tulisan Andres Duany, salah satu pelopor New Urbanism. Katanya, kita harus membersihkan highway dari kegiatan ekonomi komersil karena akan menimbulkan kemacetan lalu lintas. Pada gilirannya kemacetan ini akan berdampak pada pemborosan waktu, pemborosan bahan bakar fosil, dan social costs lainnya. Tapi Oom Andres, highway di Indonesia kan beda dengan highway di Amrik. Yah, walaupun perkembangan di Indonesia sepertinya mengikuti pola-pola perkembangan Amrik, tapi dari sisi negatifnya.

Lihat saja perkembangan rest area yang menjamur hampir setiap 20 kilometer. Dengan fasilitas 'one-stop-shop', jalan tol yang seharusnya bebas hambatan menjadi jalan dengan hambatan samping yang menggoda. Bagi tukang jajan karena banyak restoran serba ada. Bagi fashionista karena ada juga rest area yang dilengkapi boutique outlet. Lama-lama jalan tol ini menjadi Objek Daya Tarik Wisata sendiri. Wisata rest area.

Lamunanku mendadak buyar karena executive shuttle yang aku tumpangi mulai merayap di tengah kemacetan hingga akhirnya mataku menangkap sekumpulan orang berkerumun di lajur kebalikan. Menatap di seberang mereka, di sebelah kiriku, belasan rumah masih berkobar dilalap api. Lama-lama aku jadi kesal juga dengan si awan malas karena tidak juga menurunkan hujan untuk membantu pasukan merah memadamkan api.

Pantas saja. Dari tadi aku heran dengan kosongnya lajur ke arah Bandung. Ternyata banyak kendaraan terhenti di sini juga. Di bawah awan mendung yang malas, awan gelap yang lebih lincah pun rajin sekali melintas sedari tadi, sejak di kilometer 44 sewaktu aku terbangun dari tidurku. Pikirku, "
Kok polusi industri sepanjang tol heboh sekali?"

Lebih ganas dari polusi industri yang bisa membunuh perlahan-lahan. Merasuki paru-paru dengan gas-gas toksin, masuk ke tubuh perlahan dan mengubah sel-sel tubuh menjadi monster mutan yang mengerikan. Kebakaran di kawasan permukiman bisa mebunuh lebih cepat lagi. Jika ditanya lebih kejam mana? Aku akan bingung, pikirku. Dua-duanya mematikan. Dua-duanya menghancurkan harapan. Hanya beda modus dan rentang waktu.

Aku jadi berpikir tentang orang-orang di balik kekejaman ini. Kaum kapitalis yang mengubah lahan pertanian menjadi pabrik dengan cerobong besar menjulang ke langit dan pipa besar yang menggelontorkan air berwarna-warni ke aliran sungai. Untuk memutar roda perekonomian. Akhirnya untuk kesejahteraan rakyat juga. Itu dalihnya.

Sedang kebakaran yang terjadi saat ini. Hanya kebakaran. Kebakaran adalah suatu bencana. Misfortune. Force major. Sebuah ketidaksengajaan karena keteledoran salah satu penghuni rumah yang lupa mematikan kompor, konsletnya aliran listrik arus pendek, atau yang paling mutakhir, salahkan saja tabung-tabung hijau kecil yang disebar Pertamina karena seringkali berubah fugsi menjadi bahan peledak. Tapi satu hal yang aku tahu, kenyataan yang sebenarnya, yang tidak pernah muncul di liputan televisi. Seringkali peristiwa kebakaran itu disengaja.

Aku tidak melantur. Sebut saja aku gila. Tapi orang di balik pembakaran beberapa kawasan perkotaan yang berkembang pesat di Pulau Jawa adalah bapakku. Ya, ayah kandungku sendiri. Jika banyak yang mengira bahwa mafia itu hanya ada di film Hollywood, sebaiknya mereka lebih lebar membuka mata. Karena uang yang digunakan untuk membiayai kuliahku, uang kost, hingga makanan yang kutelan setiap harinya, berasal dari bisnis mengerikan itu.

Melihat kejadian yang sekarang ini, aku bertanya-tanya "
Apakah ini juga perbuatan Bapak?" Dulu, aku masih marah jika tahu ini perbuatan bapak. Tapi kini, hatiku pun ikut mati sepertinya. What you eat is what you are. Sepertinya pepatah itu benar. Aku makan uang racun, hatiku pun jadi racun. Jika nanti di kawasan itu dibangun pabrik, mall, atau apartemen, aku tidak akan heran. Berarti dugaanku benar.

Aku jadi ingat dulu ketika memilih jurusan kuliah. Bingung antara teknik arsitektur dan planologi. Waktu itu aku masih polos, belum tahu pekerjaan bapak yang sebenarnya. Yang aku tahu sejak kecil, beliau usaha jual beli motor Harley-Davidson. Karena itu uangnya banyak. Waktu itu, beliau menyuruh aku masuk planologi saja. Lebih dekat dengan kekuasaan katanya. Tidak mengerti maksudnya, aku ikut saja permintaan beliau.

Bertambah dewasa, aku mulai mengerti maksud beliau dengan kalimat 'dekat dengan kekuasaan' itu. Planologi, perencaaan wilayah dan kota. Jika tidak mangkir menjadi bankir, lulusannya bisa masuk pemerintahan. Menjadi pembuat keputusan, penyusun kebijakan, menentukan boleh tidaknya pengembangan kawasan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Hebat!

Sekarang, beberapa tahun setelah lulus, aku menjadi PNS sebuah kementerian yang mengurusi proyek-proyek pembangunan berskala nasional. Terima kasih bapak, karena sepertinya aku akan menjadi PNS yang kaya raya. Menilep uang negara dengan lihai karena itulah satu-satunya kenyataan hidup yang aku pelajari selama ini. Abaikan saja kesejahteraan publik. Karena Pak Dosen bermobil BMW seri terbaru pernah bilang saat aku kuliah tingkat awal, bahwa semua itu hanya sekedar wacana.

=======
Fiksi. Iseng-iseng di kemacetan Tol Cikampek menuju Jakarta. Turut berduka bagi korban kebakaran 8 Desember 2010. Semoga cepat pulih fisik dan mental.
Credits to Ibu Dirjen. Kangen dengan traktiran Magnum-nya^^. Tolong ingatkan neneng kalau mulai mengindikasikan akan melenceng menjadi PNS yang nakal. Miss everyone @ Cilaki.

0 comments:

Posting Komentar