...

I am strong, because I am weak...
I am beautiful, because I know my flaws...
I am a lover, because I have been afraid...
I am wise, because I have been foolish...
And I can laugh, because I’ve known sadness...
Feeds RSS
Feeds RSS

14 Des 2010

Lana's Songs (5)

Saybia atau Muse?

Selesai kelas terakhir, Lana terburu-buru keluar menembus lorong menuju selasar. Meri, sahabat, teman nongkrong, sekaligus tebengan pulang Lana sehari-hari, terheran-heran melihatnya.

"Lan! Lan! Lo mau kemana? Ga nongkrong dulu? Langsung balik? Mau bareng gue ga?"

"Eh, sori. Sori Mer. Hari ini gue ada urusan penting. Ga bareng ya gue."

"Oke oke. Emang lo mau kemana sih?"

"Ada kejadian penting. Heboh. Menggegerkan! Gue mau ketemuan sama Ardi sekarang."

"Hmph, dramatis deh lo!"
"Eh, tapi. Kok Ardi? Ardi yang anak Ose 2002? Kok bisa? Mau ngapain? Jiye jiye," Meri malah menggoda Lana yang sedang tergesa-gesa.

"Haduuuuh cin! Tar aja deh gue jelasin. Kejadiannya no fun at all. Genting deh pokoknya. Ada hubungannya juga sama Si Kiwi. Tommorow I'll give a full report okay?"

"Okay. Beneran ya. Take care girl!"

Mereka cipika cipiki dan berlalu.

***

Seperti tidak ada lokasi lain untuk bertemu, Ardi pun menentukan lokasi janjian di depan Tokema. Mungkin karena dia tau, Lana sering nangkring sambil ngobrol dan minum Buavita di tembok pagarnya yang sudah lembab dimakan jaman. Maklum, Tokema yang terletak di komplek Student Center, dua buah bangunan simetris yang membelah Boulevard dengan Tugu Soekarno ini, dibangun semenjak jaman kolonial. Kabarnya, salah satu ruangan di Student Center ini pernah menjadi saksi bisu deklarasi sekelompok pemuda yang sedang berjuang membangun idealisme. Lana pernah melihat sebuah plakat tertanam di lantainya. Itu bukti dari sejarah yang mulai terlupakan. Dan kini, 7 tahun kemudian, Student Center tinggal kenangan. Digantikan oleh Campus Center yang lebih megah dan futuristik. Entah plakat itu masih ada atau terkubur dibawah stuktur putih mentereng itu.

Sepertinya Ardi agak oblivious bahwa tempat itu juga tempat Kiwi sering nongkrong bersama Lana dan Meri. Terlebih, Ardi juga sepertinya oblivious dengan perasaan Kiwi kepadanya sedari dulu. Saat berjalan dari Labtek IX A yang hanya berjarak 200 meter jika ditempuh melalui Labtek-nya Teknik Lingkungan, Lana berpikir "Kiwi ngeliatin kami berdua ketemuan di situ ga ya? Mudah-mudahan enggak deh."

Di sana, bersandar di tembok pagar, tepat di depan pintu Tokema, Ardi sudah menunggu. Melihat Lana datang menghampiri, ia tersenyum manis sekali. Dengan Ardi yang seperti itu, Lana tidak mampu menahan diri selain membalas senyuman dan sedikit melambaikan tangan.

"Hei Di."

"Hei Lan."

"Lama nunggu?"

"Ah, ga juga."

"Ngobrolnya sambil jalan deh yuk," Lana teringat kembali bahwa ada kemungkinan Kiwi sedang melihat mereka bertemu di sini, dan ia mungkin akan salah paham akan maksud Lana.

"Yuk," Ardi setuju.

Mereka pun berjalan menyusuri selasar Teknik Lingkungan, menyeberang ke Selasar Planologi, menyusuri lapangan Barrack hingga Mushola Bundar, berbelok ke kanan ke Seni Rupa, terus berjalan hingga Soemardja. Di sini langkah mereka terhenti.

"Jadi kita mau kemana nih?" tanya Lana.

"Terserah. Kamu maunya ke mana?"

Lana paling tidak suka jawaban itu. Baginya, jawaban terserah adalah sebuah jawaban pengecut, menghindari resiko. Tapi begitulah yang umumnya dilakukan laki-laki ketika pertama kali mengajak perempuan yang disukainya jalan. Terlalu khawatir si gebetan tidak suka dengan apa yang akan ditawarkannya sebagai pilihan. Padahal, sebagai anak pertama yang terpaksa membuat keputusan selama hidupnya, Lana ingin sesekali dipaksa menuruti keinginan orang lain yang membuatkan keputusan untuknya.

"Lho? Kok gue yang nentuin? Kan lo yang ngajak," ketus, Lana menyadari itu. Tapi hanya itu satu-satunya jawaban yang terpikir olehnya.

"Mm, kalo gitu kita nyari kado aja deh yuk. Buat temen aku. Dia ulang taun besok."

"Oke. Mau nyari di mana?"

"Hehe. Aku sebenernya ga tau juga sih, biasanya nyari kado semacam itu dimana. Kamu ada ide?"

"Mm, oke. Di Celebrate aja kalau gitu. Gift shop yang di Sulanjana itu. Gue kalo nyari kado biasanya disitu."

"Oke. Yuk."

Mereka pun melanjutkan berjalan menyusuri lapangan parkir Seni Rupa, berbelok ke kiri menyusuri Jalan Ganeca dipayungi pohon-pohon tua dan udara sejuk kota Bandung sore hari. Beberapa meter meninggalkan pintu gerbang dan deretan warung tenda di mulut parkiran, Ardi memulai pembicaraan kembali.

"Kamu tau lagu Saybia?" Ardi menanyakan sebuah lagu yang sedang populer saat itu. Lana pasti tahu, ia selalu rajin meng-update playlist sejak di bangku SMP.

"Tau. 'The Second You Sleep 'atau 'The Day After Tommorow'?"

"Mm, yang lagi hits sekarang?"

"Ya, dua-duanya juga hits."

"Oo, 'The Second You Sleep' yang mana? 'The Day After Tommorow yang mana?"

Lana sadar, Ardi memaksanya menyanyikan lirik lagu itu. Herannya, ia mau saja.

"Mm, kalau 'The Second You Sleep' tuh yang
'I stand to watch you fade away, I dream of you tonight, tommorow you'll be gone, it gives me time to stay ...'
Kalau 'The Day After Tommorow' itu yang
'please tell me why do birds, sing when you're near me? sing when you're close to me? they say that I'm a fool for loving you deeply, loving you secretly ...'
itu."

"Bukan ah, bukan itu."

"Iih, iya lagi. Bener. Saybia kan?"

"Bukan ah. Yang ini lho,
'you could be my unintended choice to live my life extended, you could be the one I'll always love ...' "

"Oo, itu mah Muse, bukan Saybia. Judulnya Unintended."

"Oo, Muse ya. Haha."

Tanpa terasa, sampailah mereka di pinggir jalan Dago. Menyebrang ke halte Borromeus, menunggu angkot Kalapa-Dago.

[to be continued]

0 comments:

Posting Komentar