...

I am strong, because I am weak...
I am beautiful, because I know my flaws...
I am a lover, because I have been afraid...
I am wise, because I have been foolish...
And I can laugh, because I’ve known sadness...
Feeds RSS
Feeds RSS

5 Nov 2010

Memaknai Pengorbanan

Berkorban sih berkorban. Tapi gimana kalau itu cuma di bibir aja? Hati orang kan siapa yang tau?

Pernyataan yang terlontar dalam obrolan beberapa hari yang lalu membuat saya berpikir. Apa benar jika seorang teman berkorban untuk saya, pengorbanannya itu hanya di bibir saja? Apa benar teman saya ini mengisyaratkan pengorbanannya dalam bentuk kata-kata kemudian di dalam hatinya dia tidak mengharapkan saya bahagia? Saya yakin tidak. Teman saya tidak sepahit itu. Teman adalah orang yang ikut senang saat kita bahagia dan berempati saat kita bersedih. Begitupun dengan saya, saya akan senang jika teman saya bahagia dan berusaha mengurangi kesedihan teman saya ketika ia sedang tidak bahagia. Setidaknya, itu yang saya coba lakukan selama ini. Hihi^^

Saya jadi teringat beberapa cerita tentang bagaimana seseorang memaknai pengorbanan orang lain. Beberapa cerita mungkin sedikit alay, lebay, atau mungkin terlalu dramatis dan tidak sesuai dengan gaya bahasa saya yang biasanya. Apa boleh buat, hanya cerita-cerita ini yang saya ingat dalam kapasitas memori otak saya yang sudah tidak ter-upgrade sejak lama. Teman baik saya pernah bilang kalau otak saya sungsang. Mungkin dia ada benarnya. Jadi saya harap teman-teman yang baca cerita ini memakluminya.

(1)
Cerita tentang pemuda pemberontak yang seringkali berpindah sekolah karena melakukan tindakan agresif dan kekerasan. Setelah diselidiki, ternyata pemuda ini adalah anak yatim piatu yang kehilangan kedua orangtuanya saat dia masih kecil. Dulu, ketika umurnya 8 tahun, rumahnya mengalami musibah kebakaran. Untungnya, dia dan kedua orangtuanya selamat karena cepat-cepat keluar meninggalkan rumah sebelum api membesar. Tidak untungnya, karena si anak ini kembali lagi masuk ke dalam rumah karena ingin mengambil mainan kesayangannya. "
Takut mainannya kebakar," sesederhana itu pikirannya.
Entah bagaimana, si anak berhasil lari masuk ke dalam rumah untuk mengambil mainannya. Kedua orangtuanya, dengan mode perlindungan otomatis, tentu mengejar anak mereka untuk menyelamatkannya bahkan tanpa diminta. Akhir ceritanya ternyata tidak bahagia. Kedua orangtua si anak meninggal dalam kebakaran. Si Ayah tertimpa plafond yang runtuh terbakar api. Si Ibu sempat dilarikan ke rumah sakit karena paru-paru yang teracuni asap, namun tidak mampu diselamatkan. Si anak selamat karena Ibunya sempat menggendongnya keluar sebelum akhirnya beliau lemas dan dilarikan ke rumah sakit. Tujuh tahun kemudian, anak ini sudah menjadi siswa SMA yang tidak berprestasi. Malah cenderung merepotkan.
Seorang cameo yang cukup signifikan dalam hidup pemuda ini ternyata gemas dengan kelakuan pemuda tadi sehingga terjadi pembicaraan sebagai berikut.

"
Lu tuh apa-apaan sih? Jadi orang ngerepotin banget. Mendingan lu ga usah idup aja deh sekalian!"

"
Gue juga ga milih buat idup kok. Harusnya tujuh taun yang lalu gue mati aja," si pemuda pun mulai menceritakan kisah yang tadi sudah saya tuliskan sebelumnya pada si cameo ini.

Si cameo akhirnya mengerti duduk persoalannya. Setelah itu ia mulai berkata lagi pada si pemuda.

"
Harusnya bukan gitu cara lu mandang pengorbanan orangtua lu. Lu boleh aja merasa bersalah. Tapi gue rasa, bukan itu yang orangtua lu harapkan untuk lu rasain saat mereka mengorbankan hidup mereka untuk memberikan lu kesempatan untuk hidup lebih lama."

Si cameo lalu mengatakan, bahwa seharusnya si pemuda berterimakasih kepada orangtuanya dengan hidup yang lebih bermakna. Hidup bahagia dan membahagiakan orang lain. Bahwa sebagai orang Islam, setahu si cameo, terdapat tiga amalan yang menjadi bekal di akhirat nanti. Harta yang diamalkan di jalan Allah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang saleh. Poin terakhir mungkin adalah yang paling tapat sasaran bagi si pemuda saat ini. Dengan berbuat baik, dia akan bisa 'menghidupkan kembali' orangtuanya. Dengan berbuat baik, orang-orang di sekitarnya akan berpikir "
Wah, hebat ya anak alm. Pak X dan Ibu Y. Sudah pintar, baik, saleh lagi." Ketika sudah besar dan sukses nanti, si pemuda yang baik, saat membagi rizki pada mereka yang membutuhkan bisa berkata, "Ini Pak, Bu. Tidak usah berterimakasih. Cukup doakan saja kedua orangtua saya."
Begitu pikir si cameo. Begitu pula yang diucapkannya pada si pemuda. Si cameo pun kini bukan sekedar cameo dalam kehidupan si pemuda, melainkan teman baiknya.

(2)
Sudah bulan Mei. Kemarin pengumuman ujian akhir sekolah. Alhamdulillah lulus. Sekarang waktunya mendaftar SNMPTN.
Saya adalah satu dari 447.000 peserta yang mendaftar. Daya tampung perguruan tinggi negeri saat ini hanya 82.000 mahasiswa. Berarti perbandingannya kurang lebih 1:5. Kalau begitu, dari satu orang yang lolos 4 lainnya terpaksa harus berkorban.
Hmm, saya jadi berandai-andai:
Jika saya lolos, saya akan menjadi orang jahat karena telah menyingkirkan 4 orang, yang seperti saya juga, sangat ingin masuk perguruan tinggi negeri;
Jika saya tidak lolos, maka saya akan jadi orang jahat karena saya akan menjadi orang pendengki yang membenci mereka yang lolos tadi.
Kemungkinan implikasinya:
(a) Saya lolos > Menjadi orang jahat yang menyingkirkan 4 orang yang juga berharap lolos > Saya merasa bersalah > Saya lepas kuliah saya;
(b) Saya tidak lolos > Menjadi orang jahat pendengki > Membenci orang yang lolos selama-lamanya > Tidak kuliah dan terus menerus menggerutu;
Wah, pahit sekali opsi implikasinya. Saya jadi berpikir lagi. Bagaimana kalau opsinya saya buat seperti ini:
(c) Saya lolos > Merasa bersalah karena menutup kemungkinan bagi orang lain untuk masuk perguruan tinggi negeri > Melepaskan rasa bersalah dengan berterimakasih untuk kesempatan yang dibukakan oleh 4 orang senasib tadi > Berusaha menjadi mahasiswa berprestasi;
(d) Saya tidak lolos > Menerima kenyataan tidak lolos > Mendaftar di perguruan tinggi swasta lainnya > Berusaha menjadi mahasiswa berprestasi.
Pilihan apakah yang saya harus ambil?
:P

Cerita (1) dan (2) adalah dua contoh pengorbanan. Yah, walaupun yang kedua agak ngaco karena saya sudah ga tau lagi bagaimana cara untuk menuliskan ide dengan lebih baik. Hihihi. Perbedaan keduanya adalah contoh (1) merupakan pengorbanan yang sangat wajar karena dilakukan oleh orangtua kepada anaknya, sedangkan contoh (2) merupakan pengorbanan dari orang yang sama sekali kita tidak kenali. Maksud saya menuliskan dua cerita itu adalah agar terdapat perbedaan yang ekstrim. Sekarang mari kita lihat contoh pengorbanan yang lain. Yang sifatnya pertengahan antara contoh (1) dan contoh (2). Pengorbanan seorang teman.


Misalnya, saya menyukai seorang cowok. Kemudian cowok ini ternyata menyukai saya juga. Tapi diantara kami ada sahabat saya yang ternyata menyukai cowok ini juga. Apa yang akan saya lakukan? Jawabannya tergantung pada persepsi masing-masing. Tapi kalau saya pribadi, saya akan mundur.

Sekarang kasusnya dibalik. Saya menyukai seorang cowok. Cowok ini menyukai teman saya. Apakah saya akan mundur? Jawabannya, iya. Saya akan mundur dan mendoakan kebahagiaan cowok ini dan teman saya tadi. Apakah keputusan saya hanya di bibir saja? Jawabannya, tidak. Toh percuma jika kita memaksakan perasaan pada orang lain. Lagipula, dalam pertemanan yang sehat, kita akan senang melihat teman kita bahagia. Setidaknya itu menurut saya.

Kembali pada tagline di atas. Teman saya yang mengatakan 'siapa tau teman kamu berkorban cuma di bibir saja?', mungkin menunjukkan rasa sayangnya dengan mengatakan hal ini. Dia tidak ingin saya menjadi pribadi yang polos dan mudah mempercayai orang. Dia ingin agar saya lebih berhati-hati. Saya jadi berpikir, mungkin bagaimana cara kita memaknai pengorbanan bergantung pada sudut pandang kita. Apakah kita akan menghargainya sebagai sesuatu yang 'hanya di bibir saja'? Apakah kita akan menjadi orang yang merasa bersalah selalu karena membiarkan orang lain berkorban untuk kita? Atau menjadi orang yang menyikapi pengorbanan dengan rasa syukur dan terimakasih sehingga memaknai pengorbanan tadi dengan berbuat sebaik yang kita bisa?

Kalau lagi nulis hal yang serius gini, saya mendadak pusing. Kalau pusing artinya saya lapar. Dan kalau lapar saya jadi mendadak ngaco. Jadi sebaiknya saya akhiri saja lanturan saya ini. Soalnya Ibu Dirjen mau traktir saya makan pizza. Momen ini harus saya manfaatkan sebaik mungkin, karena tanggal 8 nanti saya akan resmi menjadi orang yang bokek karena harus membayari Si Mawar. Hohohoho.




0 comments:

Posting Komentar