...

I am strong, because I am weak...
I am beautiful, because I know my flaws...
I am a lover, because I have been afraid...
I am wise, because I have been foolish...
And I can laugh, because I’ve known sadness...
Feeds RSS
Feeds RSS

9 Nov 2010

Garis Paralel

Cerpen

Angga tidak tahu mengapa belakangan ini ia merasa sangat kesepian. Sejauh yang ia tahu, ia tidak melakukan hal-hal yang diluar kebiasaan, yang bisa merusak mood-nya. Angga suka keteraturan, hidup dengan jadwal kegiatan yang pasti, makan di tempat-tempat yang menurutnya aman bagi perut dan dompet dengan menu yang bisa memenuhi kebutuhan kalorinya sehari-hari, serta membereskan kamar kost sebelum berangkat kerja dan menyapu lantai sebelum tidur. "Being organized is fun," kata-kata itu seolah sudah menjadi kalimat credo dalam kehidupan Angga. Sambil melakukan aktivitas yang biasa ia lakukan, ia mulai berpikir apakah kesenangan-kesenangan kecil yang ia lakukan selama ini menghapus esensi kebahagiaan yang seharusnya bisa ia rasakan.

Sabtu biasanya adalah hari yang paling ia nantikan. Tidak perlu ke kantor, sehingga bisa berlama-lama di tempat tidur. Meringkuk ditengah-tengah kasur berukuran single dengan bedcover menutupi ujung kepala hingga ujung kaki. Tidak ada yang lebih nyaman selain menghangatkan diri di udara pagi hari Kota Kembang yang dingin, apalagi setelah hujan semalaman. Siangnya bisa seharian bermalas-malasan menonton film atau main game online, setelah sebelumnya jogging sambil cekidot mahasiswi kampus sebelah. Tidak perlu terburu-buru mencuci baju karena masih ada hari esok, hari Minggu. Just another fun Saturday.

Tapi Sabtu ini lain rasanya. Terbangun pagi-pagi buta dan tidak pernah merasa sesepi ini. Kumandang "asshalatu khoirun minannaum" terasa bergema sangat jauh walaupun mesjid terletak tepat di seberang rumah kost. Tengadah menatap langit-langit 2x3 meter persegi, Angga berpikir untuk bangun atau mencoba memejamkan matanya lagi 6 jam lagi hingga jam 10 nanti ketika matahari sedang hangat-hangatnya. Pilihan pertama yang harus diambil di hari Sabtu yang terasa sepi ini. Angga benci memilih. Tapi hidup adalah seangkaian pilihan-pilihan kecil yang disodorkan tanpa bisa kita tolak atau abaikan keberadaannya. Saat merenung untuk membuat pilihan pertamanya hari ini, ia teringat Agni, salah satu teman pertamanya saat menginjakan kaki di kota termetropolis kedua setelah ibukota Jakarta. Dulu Agni adalah alarm solat subuhnya, di awal pertemanan mereka ketika temannya itu mengetahui bahwa Angga tidak terbiasa bangun subuh. "Kalau Agni tau gue ga solat subuh lagi, dia bakal sms-in gue lagi tiap pagi ga ya? Kalau Agni masih sms-in gue, rasanya tetep sesepi ini ga ya?" pikir Angga, "Haha. Silly toughts. Agni pasti meradang, dia paling bete kalau lupa solat. Jatoh-jatohnya, gue ntar digebukin sampe lebam." Ia pun memutuskan untuk bangun dan mengambil air wudhu. Rekor. Sudah lama rasanya Angga tidak solat Subuh tepat waktu. Terakhir kali adalah saat pesantren kilat waktu SMP. Dimana kakak-kakak mentor membangunkan semua peserta untuk solat Tahajjud lanjut solat Subuh berjamaah. Waktu itu solat Angga belum bisa dibilang tertib. Kantuk yang tak tertahankan membuatnya terlelap dalam tiap sujudnya. Kali ini, ia berketetapan untuk khusuk.

Di atas sajadah pinjaman ibu kost yang tidak pernah ia kembalikan sejak hari Jumat setengah tahun yang lalu saat pertama masuk ke rumah kost ini, Angga menunaikan kewajibannya. Selesai solat dua rakaat, Angga mulai berdzikir. Ia mulai berdoa. Rekor kedua hari ini. Biasanya ia capcus selesai solat. Terburu-buru karena matahari sudah mulai tinggi atau terburu-buru karena harus mandi dan masuk kantor jam 8 pagi. Di waktu solat lainnya pun biasanya ia langsung menuju meja kerjanya, langsung nampang di depan laptop, atau langsung berbaring dan terlelap. Dalam doanya ia mengingat ibu yang sudah tidak bisa ia temui lagi. "Kalau Mamah masih ada, mungkin ada yang neleponin gue setiap wiken kayak nyokapnya Heri," pikirnya. "Kalau Mamah neleponin gue tiap wiken, mungkin gue ga ngerasa sesepi ini."

Pikirannya lalu melayang pada ayahnya dan istri beliau yang hingga kini masih ia panggil dengan sapaan 'tante'. Entah mengapa Angga belum bisa sepenuhnya menerima wanita yang menjadi istri ayahnya itu. Ia pernah berketetapan bahwa bagaimanapun ibunya hanya ada satu, tidak bisa terganti oleh siapapun. Karenanya panggilan 'tante' untuk istri ayahnya adalah satu-satunya pilihan yang paling bisa ia terima. Ia lalu berpikir, "Kalau gue manggil Tante itu Mamah, apa hubungan gue sama Bapak akan lebih baik dari yang sekarang? Kalau hubungan kami lebih baik, apa gue ga akan ngerasa sesepi ini?" Pertanyaan itu mengabur seiring dengan pertanyaan lain yang muncul dibenaknya, "Bapak lagi ngapain ya sekarang? Dulu biasanya beliau solat Subuh berjamaah di mesjid kompleks." Angga merasa heran dengan keenganannya mengikuti ayahnya pergi ke mesjid tiap pagi saat mereka masih tinggal bersama. Sebuah keheranan yang baru ia rasakan. Selama 25 tahun hidupnya, Angga selalu merasa perlu memiliki alasan untuk bisa bersama atau sekedar berbincang dengan ayahnya itu. Beberapa kali ia mencoba untuk menelepon ayahnya hanya untuk menanyakan kabar beliau, namun selalu urung karena takut ayahnya berkata "Bapak baik-baik saja. Kenapa?" Kalimat pertama yang melegakan, kalimat kedua yang membingungkan. Jawaban seperti "Enggak, pengen tau kabar Bapak aja" sepertinya enggak banget buat Angga. Ia pun takut kalau Bapaknya ujung-ujungnya berpikir bahwa jika Angga menelepon beliau, artinya ia sedang berada dalam kesulitan finansial dan berharap bantuan kiriman uang dari ayahnya. Semakin dipikirkan, semakin sepi rasanya. Mengapa untuk mengetahui kabar satu-satunya orang yang bertalian darah dengannya ia harus memikirkan beribu alasan. Segala keresahan itu ia tutup dengan memejamkan mata, berharap kebahagiaan dan kesehatan untuk beliau yang kata orang-orang menurunkan bentuk wajah dan tubuh tegapnya kepada Angga.

Angga lalu teringat Vita, orang yang dulu menghiburnya saat sedih. Gadis yang pertama kali membuat jangtungnya berdegup kencang setiap berada di dekatnya. Jika ada wanita yang ia sayangi dalam hidupnya selain ibunya, gadis inilah salah satunya. Saat kuliah dulu, dialah yang membuat wajah Angga memerah tanpa sadar saat teman-teman mereka menggoda kedekatan keduanya. Pembawaan yang ceria dan kecerdasan pola pikir gadis metropolitan yang tidak pernah ia temui sebelumnya membuat Angga kagum. Saking santernya gosip kedekatan Angga dengan Vita, mereka akhirnya menyengajakan diri membuat status 'in a relationship' di status jejaring sosial mereka untuk menebar sensasi dan menyenangkan teman-teman mereka itu. Terpaksa. Kata itu merupakan kata yang jauh dari keinginan hati Angga yang sebenarnya. Tapi kata itu yang ia gunakan untuk menjustifikasi tindakan mereka. "Kalau aja gue berani bilang ke Vita bahwa gue ga terpaksa dan ga bercanda waktu nge-approve relationship status itu. Apa saat ini Vita masih bareng gue? Apa gue masih bisa nepuk kepalanya saat gue gemes dengan perilakunya yang manis?" Terakhir kali Angga melihat Vita adalah tiga hari yang lalu. Angga bisa melihat Vita dari jarak dekat, sayangnya ia tidak bisa menyapa dan berbincang dengan gadis itu. Saat itu Vita sedang mereportasekan aktivitas Anak Krakatau seiring dengan peristiwa letusan Merapi. Bangga bercampur sesal, perasaan aneh yang bisa dirasakan bersama walaupun keduanya sama sekali bertolak belakang.

Tanpa terasa matahari sudah terbit menghangatkan udara Bandung yang sejuk. Semua renungan tadi membuat Angga berkesimpulan bahwa ia hidup di sebuah kehidupan yang paralel. Lucu rasanya. Karena untuk berkesimpulan ia harus berpikir. Dan Angga benci banyak berpikir. Ia jadi teringat status YM Agni beberapa hari yang lalu, 'cogito ergo sum'. "Agni memang selalu sok canggih dengan buku, musik dan film-film festivalnya", pikir Angga. Tapi hal itu tetap membuat Angga penasaran hingga akhirnya ia mengetik 'cogito ergo sum' di search engine Google. 'Cogito ergo sum' sebuah quote yang dikeluarkan oleh Rene Descartes, salah satu tokoh filsafat ternama, yang berarti 'I think, therefore I am'. Saya berpikir, karenanya saya ada. Akhirnya Angga menyadari keberadaannya di dunia yang menurutnya paralel, dimana setiap orang menjalani hidup pada garisnya masing-masing. Suatu saat ketika garis itu bersinggungan, ia bertemu dengan orang baru. Saat garis itu terpisah, ia dan orang tadi akan menjalani hidup masing-masing. Beberapa garis itu akan bertemu kembali, beberapa tidak. Tapi semua garis itu memiliki keterkaitan satu dan lainnya, karenanya Angga menamakannya garis paralel.

Berharap bisa mengeratkan kembali garis paralelnya dengan Vita, Angga menyalakan laptop dan log-in YM. Senang karena melihat bahwa sepagi itu Vita sudah online, dengan antusias Angga mengklik nama account-nya, alvita_diyoshi. Di depan IM windows yang terbuka, Angga bingung dengan kata pertama yang akan ia ketikkan. Hanya sekedar 'hai' saja tampaknya tidak cukup. Agak ragu juga karena takut tidak berbalas, Angga mengecek fungsi audible dan font pada IM windows tersebut. Keduanya tidak aktif. Berarti Vita online di Blackberry-nya. Kemungkinan sapaan yang tidak berbalas menjadi semakin besar. Ia urung menyapa Vita. Bagaimana jika Vita sibuk. Bagaimana jika Vita menganggapnya tidak penting. Bagaimana jika Vita tidak mengenalnya lagi. Terlalu banyak pertimbangan. Keputusan menjadi sulit diambil. Angga benci membuat keputusan.

BUZZ!

Windows lain terbuka.

petasan_rawit: hoy! tumben pagi-pagi OL...

omar_dwiangga: iya... hehe...

petasan_rawit: lagi ngapain?

omar_dwiangga: ga ngapa-ngapain...
(Hampir Angga mengetik kata 'kenapa?' Tapi ia keburu ingat bahwa pertanyaan itu sangat menyebalkan. Kita toh tidak selalu butuh alasan untuk menanyakan kabar teman kita sendiri. Angga pun mengganti kata yang dipilihnya tadi.)
omar_dwiangga: kamu lagi ngapain?

petasan_rawit: lagi bosen... jalan yuk!

omar_dwiangga: hayuk! aku siap-siap sekarang ya... kamu tunggu di rumah, tar kujemput...

petasan_rawit: serius?

omar_dwiangga: iya...

petasan_rawit: serius kamu??

omar_dwiangga: iya bawel...!!!

Biasanya Angga tidak langsung menjawab ajakan sepeti ini, sehingga wajar jika teman bicaranya terheran-heran. Biasanya dia akan menanyakan 'kemana? mau ngapain? jalannya sama siapa aja?' dan pertanyaan-pertanyaan lain yang harus merinci jadwal kegiatan 'jalan'-nya ini. Biasanya, saking rincinya pertanyaan dan komentar Angga, lawan bicaranya kapok dan batal mengajak. Padahal maksud Angga sederhana, ia hanya ingin have fun. Dan fun menurut standar Angga adalah kegiatan yang fully organized. Tapi hari ini bukan hari biasa. Dan si pengajak pun bukan orang biasa. Petasan rawit, sesuai nama account-nya, adalah orang yang bisa mengusir sepinya di hari Sabtu ini. Seseorang yang saat ini besinggungan garis hidupnya dengan Angga. Dimana momen persinggungan ini akan ia manfaatkan sebaik mungkin. Karena Angga tahu bahwa walaupun ia tidak menginginkannya, suatu hari nanti, mungkin garis ini akan merenggang dan menjadi garis-garis lain yang paralel dengan garis kehidupan Angga. Setelah mandi dan bersiap-siap, Angga bergegas keluar dari kamar kost-nya, hampir meninggalkan dompet di celana training yang digunakannya saat mencari makan bersama Heri semalam. Sambil men-start Yamaha Vixion hitamnya, Angga berteriak pada Heri, teman terdekatnya di rumah kost itu.

"Brok! Gue cabut brok!"

"Lho? Ga jogging lu? Kirain lu buru-buru siap-siap mau jogging. Makanya gue buru-buru juga. Ngeceng lagi kitah brok!"

"Ogah ah! Hari ini libur gue!"

"Emangnya mau kemana lu?"

"Mau 'main petasan'. Hehehe."

"Aaaaah, pret!!! Yaudah deh... Have fun ya brok! Salam buat Si Manis Pedes!"

"Hahaha... Sip sip!"

Angga pun berlalu dengan diiringi lagu beraliran punk rock yang bergema kencang dari kamar Heri, Chiisana Koi No Uta dari Mongol 8000. Soundtrack J-Dorama favorit Heri, yang sering Angga cela-cela karena kesukaannya terhadap dorama yang menurutnya seperti selera tontonan perempuan. Tapi bait-bait lagu ini, hari ini, serasa membakar semangat Angga.

"Hiroi uchuu no kazu aru hitotsu aoi chikyuu no hiroi sekai de"
(One of many in this wide universe in the great world of this blue earth)
"Chiisana koi no omoi wa todoku chiisana shima no anata no moto e"
(This tiny feeling of love will reach you on the little island)
"Anata to deai toki wa nagareru omoi wo kometa tegami mo fueru"
(Time have passed since I first met you, the letters with my feelings grow in numbers)
"Itsu shika futari tagai ni hibiku toki ni hageshiku toki ni setsunaku"
(Without us realizing, it is already echoing between us; Sometimes intense, sometimes sad)
"Hibiku wa tooku haruka kanata e yasashii uta wa sekai wo kaeru"
(It echoes distantly, this gentle song changes the world)
"Hora anata ni totte daiji na hito hodo sugu soba ni iru no"
(Look, the person who is important to you is right beside you)
"Tada anata ni dake todoite hoshii hibike koi no uta"
(I just want to reach only you, this echoing love song)


=========
Fiksi. Didraft di tengah kemacetan jalan Kiara Condong, siang hari saat hujan deras tanggal 9 November 2010.
Credits to Margo Sri Handayani. Thanks for the inspiring daily chit chat. Love you girl! ~cupcupmuah!

0 comments:

Posting Komentar