...

I am strong, because I am weak...
I am beautiful, because I know my flaws...
I am a lover, because I have been afraid...
I am wise, because I have been foolish...
And I can laugh, because I’ve known sadness...
Feeds RSS
Feeds RSS

19 Nov 2010

Bhineka Tunggal Ika

Masih ingat tidak dengan pelajaran PPKn semasa kita SD dulu, tentang arti dari semboyan bangsa Indonesia yang tertera di pita yang dibawa Burung Garuda Pancasila. “Bhineka Tunggal Ika” walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jiwa. Sepertinya semua orang tahu betul arti dari semboyan itu, tapi apa iya semua orang memaknai arti itu dalam kehidupan mereka, merasuk sampai ke tulang dan darahnya. Indonesia adalah Negara kepulauan yang memiliki beragam suku budaya, mulanya meong tidak merasa begitu bangga akan kelebihan negeri ini, biasa aja kalau boleh dibilang. Ya sudah trus kenapa begitu pikir meong saat itu, saat dimana meong masih berkutat di negeri sendiri di Suku Jawa, di kota kelahiran meong. Dari sejak kecil meong tumbuh dalam lingkungan yang bisa dibilang homogen, semua orang Jawa, meong kecil berpikir kalau Indonesia itu diisi oleh orang Jawa saja. Seiring bergulirnya waktu dan penetrasi dari globalisasi maraknya perantauan, di lingkungan sekitar meong mulai muncul orang-orang dari suku lain yang secara otomatis akan bersinggungan dalam kehidupan meong. Berawal dari murid pindahan di SD, Bian namanya, dia seorang dayak-melayu kota asalnya Samarinda. Dengan meong lah Bian belajar Bahasa Jawa, ini hukumnya wajib bisa Bahasa Jawa, ya karena masih ada pelajaran muatan lokal Bahasa Jawa. Masuk di SMP meong bertemu lebih banyak lagi teman dari berbagai suku di Indonesia yang tertumpah dalam satu institusi pendidikan ini. Ada dari Bali, Aceh, Bugis, Ambon, Sumbawa, bahkan ada yang dari Papua walupun dah bercampur ma darah Cina tapi teman meong ini masih memiliki cirri khas orang Papua yaitu rambutnya, khas sekali. Sampai jenjang SMA walupun banyak juga teman meong dari luar suku Jawa namun kesemua teman meong itu hanyut dalam tirani minoritasnya yang akhirnya memaksa mereka untuk bisa berbahasa Jawa, kita masyarakattuan rumah ini sebetulnya jahat dengan para pendatang ini. Baru pas di masa kuliah kita kelompok mayoritas baru bisa sedikit member kemudahan bagi para pendatang dengan selalu menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan, ya walaupun masih medok dang ado-gado dengan bahasa Jawa popular.


Setelah lulus kuliah meong bercita-cita akan pergi meninggalkan kota kelahiran meong untuk bisa menakhlukan dunia, dimulai dari Ibukota, pikir meong saat itu. Berangkatlah meong saat itu menuju ibukota Indonesia, ternyata benar kata pepatah ibukota lebih kejam dari ibu tiri. Meong yang dulu jarang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan sedikit kualahan memakai bahasa Indonesia yang baik dan benar tanpa embel-embel atau tercampur dengan bahasa Jawa. Meong sempat frustasi dan minder, meong gak mau ngomong di luar rumah pas di Jakarta. Meong takut salah ngomong dan mengingat orang-orang di Jakarta tidak sepenuhnya baik seperti di kota asal meong. Butuh dua minggu untuk menakhlukan masalah bahasa ini, sekarang meong sudah fasih lancar dan gak medok lagi pakai bahasa Indonesia. Cuma beberapa bulan saja meong berada di Ibukota Indonesia ini, selanjutnya meong berpindah ke Ibukota Jawa Barat, yup bener banget meong memutuskan untuk kerja di Bumi Parahyangan Kota Bandung, kota romantis setelah Venice dan Paris menurut meong. Xixixixi jadi ingat dengan tulisan di t-shirt yang terpampang di salah satu mall favorit meong di Bandung “Pernah jatuh cinta di Bandung”, dalam hati meong berikrar akan membeli kaos itu kalu nanti meong akan pindah dari kota ini, hahahahaha.


Di Bandung tidak seperti di Jakarta, masyarakatnya lebih mengutamakan kearifan lokal, terbukti dengan bahasa pergaulan yang digunakan adalah Bahasa Sunda. Lagi-lagi meong frustasi dengan masalah bahasa, mungkin ini adalah balasan buat meong karena dulu meong terlalu egois dengan teman yang dari luar suku Jawa dengan tetap memakai bahasa jawa kepada mereka, walaupun mereka enggak ngerti. Butuh waktu agak lama menyesuaikan dan mulai menerima situasi ini. Sekarang ini ni, meong sudah agak mengerti namun belum percaya diri untuk menggunakan dalam percakapan.


Kebanggan meong akan keragaman suku dan budaya di Indonesia semakin menjadi disaat meong menghabiskan waktu disebuah toko buku dan menemukan buku tentang berbagai adat pernikahan dari seluruh Indonesia, lengkap dari prosesi awal sampai akhir, baju adat, baju pernikahan, keragaman istilah bahasa tapi satu makna, permainan masa kecil yang ternyata sama saja dibelahan bumi Indonesia ini dengan penamaan yang berbeda tentunya. Sampai pada moment ketika memilik banyak teman dari berbagai suku.


Pernah dimuat di tulisan kebo tentang sebenarnya orang Indonesia sebenarnya masih rasis, terutama para orang tua kita. Seterbuka dan semodern apapun pikiran orang pasti untuk masalah pernikahan campur beda suku agak sedikit lot perijinannya dengan para orang tua. Orang Jawa nikah dengan orang Jawa, Orang Minang nikah dengan sesama Minang, Batak dengan Batak, Sunda dengan Sunda dll. Ada kisah seorang wanita Minang yang harus tetap menikah dengan pria Minang pula, namun orang tuanya mengijinkan dia merantau ke tanah jawa bahkan disaat wanita minang tersebut memutuskan untuk kempali ke kampungnya sempat dilarang. Namun orang tuanya menginginkan dia menikah dengan orang dari kota yang sama dengannya. Begitu pula dengan wanita Jawa yang ada beberapa diantaranya yang dilarang menikahi pria dari Suku Sunda. Mana katanya walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu. Bapak meong sendiri termasuk dalam kategori orang tua seperti yang meong ceritakan di atas. Pernah suatu ketika meong bertanya iseng-iseng pada beliau,


“bapak, kalau meong nikah sama orang minang boleh gak..?”

“orang minang…???”

“iya orang Padang bapak, boleh gak…??”

“boleh aja, trus nanti ngomongnya gimana…??”

"kalau sunda, bugis, dayak, boleh ga..??"

Bapak hanya berlalu tidak menggubris pertanyaan terakhir, karena sudah merasa cukup dengan jawaban sebelumnya


Kalau dicerna secara gamblang jawaban bapak meong ini, beliau nerima nerima saja meong menikah dengan orang dari suku manapun, tapi meong yang sudah kenal betul watak beliau, masih agak terganjal dengan peryataan pada kalimat terakhir, “trus nanti ngomongnya gimana” see itu adalah pertanda beliau tidak menyetujui 100%. Okelah terlepas dari factor bibit bobot dan bebet yang beliau junjung tinggi dalam memilih menantu, karena bagi beliau menantu dikeluarganya sudah dianggap seperti anak lelakinya, ya seperti itulah yang meong lihat dari semua suami kakak-kakak meong. Kedekatan yang terjalin antara bapak meong dengan menantu menantunya sudah seperti layaknya anak kandung, mungkin ada kekhawatiran beliau tidak bisa berkomunikasi dengan menantunya kalau-kalau menantunya dari suku diluar Jawa, hahahahaha ada ada aja bapak meong ini.


Well, terlepas dari itu semua, saat ini meong hanya menjalani hidup dengan sebaik-baiknya dengan saling hormat menghormati semua keragaman suku ras dan agama di sekitar meong. Urusan jodoh meong nanti siapa, dari mana, biarlah waktu yang akan menjawab, meong saat ini sedang berusaha untuk meraih apa yang meong yakini di hati meong. Meong selalu berdoa untuk selalu diberikan jodoh yang terbaik bukan bagi meong saja, tapi bagi keluarga meong juga. Apapun panggilannya entah itu Abang, Uda, Aa’, Mas, Beli, Cak dll tapi tetap satu yang sama yaitu berlandaskan ‘cinta yang mendamaikan’


Buat adeknya abang: ayo semagat, jangan pernah lelah menapaki jalan hidup yang berliku ini, untuk saat ini ikuti dulu aja apa kata mama, mau dilarang pulang, menurutlah, disarankan tetap merantau dan bekerja di Jawa laksanakanlah, mama maunya kamu nikah sama orang sana diiya in dulu, tidak ada yang tahu siapa jodoh kita kelak kan, yang penting sekarang always do the best in your life. Jika ingin mendapatkan pasangan yang terbaik, jadilah pribadi terbaik pula, ok. Bersama-sama kita berusaha, berdoa dan saling mendukung.

0 comments:

Posting Komentar