...

I am strong, because I am weak...
I am beautiful, because I know my flaws...
I am a lover, because I have been afraid...
I am wise, because I have been foolish...
And I can laugh, because I’ve known sadness...
Feeds RSS
Feeds RSS

26 Okt 2010

Kapasitas Pertemanan

Mari saya kenalkan teman baru saya yang bernama Wati...

Saat ini, di kantor tempat saya bekerja, saya mendapat seorang teman baru. Kadar kebaruannya saya tidak tau pasti. Yang saya tau pasti, setiap mengobrol dengannya, saya merasa sedang bertemu dengan teman lama. Mungkin karena kami memiliki passion yang sama, terhadap film, terhadap musik, terhadap buku, dan kesukaan kami dalam menulis. Bedanya, dia jauh berada di depan saya dalam hal aktualisasi passionnya tersebut. Dia mampu mewujudkan passionnya dalam bentuk yang lebih nyata, berbeda dengan saya yang masih malu-malu dan menahan diri. Pada dasarnya, saya mungkin memiliki kekaguman tersendiri terhadap teman saya ini. Dia memiliki hal-hal yang ingin saya miliki. Dia melakukan hal-hal yang selalu ingin saya lakukan. Dia, sedikit banyak, adalah apa yang saya inginkan untuk diri saya. Cerdas, berwawasan, dan pandai bergaul.

Mari saya kenalkan dengan teman saya ini. Sebutlah namanya Wati. Wati ini bukan perempuan. Walaupun nama Wati umumnya digunakan sebagai nama perempuan. Wati memanggil saya Mae. Ya, kami senang bersandiwara. Memainkan peran sebagai dua orang gadis desa yang merantau ke kota untuk mencari penghidupan yang lebih baik sebagai asisten rumah tangga. Setiap pagi, Wati menyapa saya melalui messenger intranet maupun Yahoo. "MAEEEEE...!!!" sapanya. Kami pun lalu berbincang mengenai banyak hal. Senangnya, saya tidak harus bermanis-manis dan flirty dengan dia. Karena jujur saja, untuk kesekian kalinya, saya bosan dengan obrolan teman-teman di kantor yang mengharapkan saya berperan sebagai anak kecil yang centil. Bukan salah mereka memang. Karena saya memang terkesan playfull dan centil dalam melontarkan lelucon atau obrolan. Ketika sedang bosan seperti ini, biasanya saya menarik diri dan cenderung diam, yang malah membuat heran teman-teman yang lain. Dan pada akhirnya proses meyakinkan bahwa saya tidak apa-apa lebih merepotkan. Sehingga saya harus switch back ke mode centil seperti biasanya. Haha.

Suatu hari obrolan kami berputar pada seseorang yang pernah ada dalam hidup saya. Seseorang yang jika saya mendengar namanya, akan membuat saya mengingat satu kata: penyesalan. Saya paling benci menyesal. Jika dalam hidup saya disuruh menunjuk satu musuh yang saya benci, yang saya tunjuk adalah setan kecil yang bernama 'Penyesalan' ini. Tapi penyesalan bukanlah musuh yang mudah dilawan. Apapun yang terjadi, penyesalan bisa terjadi, setelah kita memutuskan untuk berbuat suatu hal maupun setelah kita memutuskan untuk tidak berbuat apa-apa. Untuk itu, saya akhirnya berusaha untuk berdamai dengan musuh terbesar saya ini dengan mengambil pendirian bahwa "lebih baik saya menyesal karena sudah melakukan sesuatu dalam hidup saya, daripada menyesal karena saya tidak berbuat apa-apa", dan ternyata pendirian itu cukup mendamaikan bagi saya. Saya rasa ini merupakan hasil dari pertemuan dengan orang masa lalu yang tidak terlupakan ini. Oleh karena itu, saya berutang ucapan terimakasih.

Kembali pada teman saya Wati dan obrolan kami. Saya bercerita kepadanya, bahwa dulu, ketika masih muda dan bodoh saya bertemu dengan seorang laki-laki hebat yang tidak ingin saya akui kehebatannya. Bagi saya waktu itu, he's just some random regular issue whose playin cool*. Singkat cerita, dia menyukai saya. Sahabat saya sangat menyukai dia. Dan saya menyayangi sahabat saya. Walaupun sahabat saya akhirnya melepaskan dia untuk saya, saya tidak bisa menerimanya karena merasa semua itu tidak benar. Karenanya, saya tidak mencoba mendengar dan melihat lelaki hebat ini dengan pikiran dan hati yang jernih. Saya tidak berbuat apa-apa. Saya mendorongnya jauh-jauh. Walaupun seharusnya saya mencoba. "Pada akhirnya", cerita saya pada Wati, "saya tidak bisa mempertahankan keduanya. Si lelaki. Dan sahabat saya."

Disinilah Wati beraksi.

"Masalah lu ga bisa pertahanin sobat, mungkin kalimat baiknya tidak begitu. Lu hanya jarang kontak sekarang, melihat kesibukan masing-masing. Atau memang ada guntur yg memisahkan kalian? Bertengkar atau apa gitu?"

"Ga ada guntur kok. Sibuk lebih tepat sepertinya."

"Itu wajar banget Mae. Gue nanya sekarang, berapa orang temen SD lu yang masih lu inget?"

"Yang gue inget. Hmm, 10 orangan mungkin, ga semuanya. Paling yang bandel, yang se-geng, sama yang pernah bilang 'I love you' ke gue. Hahaha."

"Hahahaha. Dari 10 orang itu, berapa yang suka lu temui?"

"Mmm, mungkin 1 atau 2 aja sih."

"Apa lu tau ada teman SD lu yang sudah meninggal?"

"Setau gue sih enggak."

"Setau lu mungkin hanya sepersekian dari yang harusnya lu tau Mae. Dan itu sangat wajar."

"Mm, gue jadi mikir sekarang. Wajar ya? Kok gue jadi ngerasa kurang care ya? I feel bad."

"Tampak egois rasanya, jika kita merasa butuh kontak selalu dengan satu orang. Sementara teman-teman lain ga kita inget. Sementara pun satu orang itu harus bergiat. Cari kerja, cari cowok, menikah, dan sebagainya."
"Bukan kurang care Mae. Ga bisa juga kita paksain diri untuk tanya kabar semua yang pernah kita kenal."

"Iya, ya. Speechless gue. Watiiiiiii. Hebat banget sih lu. Bisa bikin gue yang bawel ini jadi speechless."

"Iya dong. Gueeee gitu."
"Kesimpulannya, kalau soal sahabatan, tiap-tiap orang punya kapasitas Mae. Kapasitas menjalin komunikasi. Kapasitas menjalin hubungan pertemanan. Lu SD aja temen udah seabrek. Masuk SMP, ada temen baru. SMA temen baru. Kuliah temen baru. Kerja, ketemu gue yang kereeeeen. Gila aja kalo masih bisa jalin hubungan dengan mereka semua."
"Bukan pada soal frekuensi, tapi lebih pada substansi. Bukan pada konsep 'ciptakan hubungan yang sering', tapi lebih pada 'hubungan yang baik.' Gitu Maeeeeeeeeee!!!"

"Wati, you're amazing."

***

Begitulah, obrolan saya dengan Wati di awal pekan terakhir bulan Oktober. Sesaat setelah perbincangan dengan Wati, teman saya Si Meong, bercerita tentang makna 'sahabat sejati' pada saya. Baginya, sahabat sejati adalah orang yang tidak men-judge, mau dia salah atau benar. Bagi teman saya Si Kucing Tengil, berdasarkan cerita Si Meong, sahabat sejati adalah orang yang bersedia membantu saat temannya membutuhkan pertolongan walaupun si temannya ini sudah lama tidak menghubunginya. Menurut Si Meong, yang sangat hobi menganalisis, pengertian sahabat sejati merupakan cerminan dari ekspektasi kita terhadap sosok seorang sahabat. Mudahnya seperti ini. Si Meong pernah di-judge oleh temannya, dan dia tidak suka, sehingga menurutnya definisi sahabat sejati adalah orang yang tidak men-judge. Si Kucing Tengil pernah dikecewakan oleh temannya yang (mungkin) mengatakan "ah, lu mah ngehubunginnya kalo butuh doang", karenanya definisi sahabat sejati bagi dia adalah yang seperti tadi saya tuliskan. Namun, ketika saya ditanya definisi sahabat sejati bagi saya, saya tidak bisa menjawabnya. Bahkan setelah saya pikirkan selama satu hari satu malam. Mungkin, saya tidak suka mendikotomisasikan sahabat menjadi sahabat sejati dan sahabat non-sejati. Bagi saya, sahabat adalah sahabat. Tidak ada yang tidak sejati. Tapi jika saya disuruh menunjuk siapa saja sahabat saya, saya bisa melakukannya dengan mudah. Sini, saya kasih contoh:

Ketika TK, sahabat adalah anak laki-laki sipit yang berdiri di tiang bendera bersama saya dan berjanji akan menikahi saya jika kami sudah besar nanti. Sahabat juga orang yang menemani saya perosotan di tembok mesjid yang landai sampai rok span saya bolong-bolong hingga akhirnya robek.

Ketika SD, sahabat adalah orang yang menemani saya duduk di pinggir lapangan basket, menunggu Bapak menjemput saya. Sahabat juga yang membuat saya berapi-api untuk menjawab pertanyaan Ibu Guru saat diskusi, karena saya tidak mau kalah dari siapapun. Sahabat juga yang berkata bahwa dia tidak akan pergi ke SMP yang sama dengan saya dan akan melanjutkan sekolahnya ke Pesantren Gontor. Dia yang masih mengirimi saya surat saat saya di bangku kuliah.

Ketika SMP, sahabat adalah gadis manis pendiam yang duduk sendirian dan menunduk malu pada hari pertama sekolah, yang kemudian saya sapa dan tanya "Bangku ini kosong ga?" Sahabat juga mereka yang selalu menetawakan saya yang konyol. Dia yang mengajak saya ke rumahnya saat imlek dan menyediakan saya mukena saat waktunya shalat. Satu lagi yang kemarin mengundang saya ke pernikahannya dan tidak lupa selalu mengirim sms berisi pertanyaan yang hangat, "Pakabar Neng?"

Ketika SMA, sahabat adalah mereka yang menemani saya membuat surat cinta untuk kakak senior. Sahabat adalah mereka yang menemani saya di perpustakaan saat mencari pekerjaan part time di baris iklan koran Pikiran Rakyat untuk menambah uang saku. Sahabat adalah mereka yang menemani saya makan Taro dan minum Sprite di pinggiran jalan Dago. Sahabat adalah tiga gadis ceria yang tertidur di kamar saya, siang hari di bulan Juli yang hangat, setelah lelah memeriksa hasil ujian murid-murid Ibu saya.

Ketika kuliah, sahabat adalah dia yang menemani tidur di cubicle perpustakaan pusat. Yang jauh-jauh dari Kopo ke Ganeca mengantarkan diktat statistik hari Sabtu saat saya sedang berkencan dengan Si Abang. Sahabat adalah dia yang mengajak untuk ikut dalam kegiatan mahasiswa yang mempertemukan saya dengan lelaki tak terlupakan yang saya ceritakan di awal tulisan, saat bermalam di Pelabuhan Ratu. Sahabat adalah dia yang bersedia mengkoreksi Tugas Akhir saya yang seringkali terlupa huruf 'a'-nya karena keyboard laptop saya yang terganjal sisa-sisa biskuit. Sahabat adalah 6 orang yang membagi mimpi bersama saya akan kehidupan masa depan yang lebih indah. Sudahkah kalian menjadi angsa? Hahaha.

Ketika bekerja, sahabat adalah dua orang gadis Semarang yang sama-sama merasakan deritanya jadi anak kemaren sore yang mencoba fit-in dengan lingkungan yang telah lama solid. Sahabat adalah gadis kecil yang duduk di front-office dan suka sekali makan ayam goreng KFC, serta dengan sabar mendengarkan cerita-cerita saya yang seringkali tidak penting. Sahabat adalah orang yang saat malam sudah larut memberikan tumpangan di atas sepeda motor bernama Melati setelah memaksa saya menggunakan sarung tangannya karena dia tau saya mengigil kedinginan. Sahabat adalah kucing tengil yang kelakuannya selalu membuat saya pengen nabokin dia.

Dan sahabat baru saya. Perkenalkan namanya Wati.

Dia yang menyadarkan saya bahwa setiap orang memiliki kapasitas pertemanan yang terbatas. Seiring dengan berjalannya waktu, sahabat bertambah. Mereka yang hadir dengan 'penawaran' yang tepat, di waktu yang tepat, dan tempat yang tepat. Tidak semuanya bisa kita maintain dengan komunikasi yang frequent. Walaupun demikian, mereka selalu ada di hati kita karena mungkin itu yang sebenarnya kita butuhkan untuk me-maintain persahabatan itu sendiri.
Ah, gataulah. Pusing. Hahahaha.


"Watiiiiii...!!! Mari bergosip lagi...!!! Hahahaha..."


*mencuplik potongan lirik lagu Love Me dari Hollywood Nobody


0 comments:

Posting Komentar