...

I am strong, because I am weak...
I am beautiful, because I know my flaws...
I am a lover, because I have been afraid...
I am wise, because I have been foolish...
And I can laugh, because I’ve known sadness...
Feeds RSS
Feeds RSS

18 Jan 2011

Sebuah Akhir

Cerpen

Suaranya masih parau tapi hatinya senang. Hari ini ia mencoba sesuatu yang sudah lama ingin ia coba. Tak rela rasanya jika kesenangan itu cepat terbang. Inginnya Tara membatalkan janjinya dengan Regi hari ini, tapi tidak bisa. Ia sudah berjanji pada Saci mau mengajak Regi berbicara. Tapi entahlah, Tara sendiri bingung apa yang ingin dibicarakannya dengan Regi. Jadi tidak yakin ingin bertemu hari ini, walau kemarin rasanya antusias sekali.

Sudah seminggu berlalu sejak Tara mengajak Saci keluar makan malam. Itu yang biasanya mereka lakukan ketika ada persoalan penting untuk dibicarakan. Walaupun pada kenyataannya hal penting itu seringkali ga penting-penting amat. Well, penting atau tidak pentingnya suatu persoalan pada dasarnya bergantung pada konteks persoalan tersebut. Penilaian manusia toh seringkali bergantung pada konteks, baik waktu, subjek, objek atau konteks lain yang berkaitan.

Sambil mengemudikan mobil abu mungilnya Tara mencoba mengingat pertemuannya dengan Saci minggu lalu. Hari itu Rabu, Senin-nya Tara seharian di cubicle-nya menyelesaikan laporan. Selasanya harus menemani tenaga ahli ke Jakarta untuk mendiskusikan jadwal dengan pemberi kerja. Rabu-nya Tara mendadak harus ke Jakarta lagi, kali ini untuk mendampingi tenaga ahli berdiskusi. Tidak banyak waktu yang bisa Tara habiskan dengan Saci, tidak sepeti tahun lalu saat mereka masih menginjak tahun pertama di tempat kerja. Lebih banyak tawa, lebih sedikit problematika. Semuanya terasa lebih sederhana. Sesaat sebelum pergi ke Jakarta Rabu pagi itu, ada bisikan yang mengatakan betapa Saci nampak sangat kusut seharian kemarin.

"Mukanya tuh bete banget Tar. Untung kemaren lu pergi. Kalau enggak, kayaknya lu ikut pusing dibikinnya."

"Lho? Kenapa gue harus ikut pusing?"

"Taaaaar, Tar! Lu tuh walau nampak cuek, sebenernya lu maintain temen-temen lu banget lagi. Yah, setidaknya yang deket lah. Lu emang cuek, bisa memperlakukan setiap orang dengan sama. Tapi tidak pada orang-orang tertentu yang lu deket sama mereka. Dalam hal ini Saci."

"Emh. Gitu ya?"

"Yah, apapun itu Tara. Pesen gue, jangan biarin yang kayak gini ganggu konsentrasi kerja ya? Lu tuh belom bisa mengontrol mood pribadi. It's one of your flaw, selain yang lu suka telat masuk kerja. Hehe. Sisanya, I think your okay. Semangat ya say!"

Setelah obrolan itu, Tara bertekad akan mengajak Saci keluar malam itu juga sepulangnya dari Jakarta. Terbukti sudah pendapat yang mengatakan bahwa Tara orangnya 'nge-maintain' banget, walaupun ia sebenarnya tidak mau mengakuinya.

***
"Sejak lu berhenti atau putus atau apalah namanya itu sama Regi, dia tuh ga berhenti gangguin gue. Gue capek Ra, capek banget."

"Lho? Kenapa lu harus capek? Bukannya biasa kalian bercanda bertengkar-bertengkar begitu?"

"Enggak. Yang sekarang tuh beda. Dia tuh beda."

"Maksudnya? Beda gimana?"

"Yah. Pokoknya lebih ga jelas deh. Gue juga ga ngerti."

"Lebih manja maksud lu? Emang gitu kali anaknya Ci. Kita kan emang baru kenal dia sebentar. Mungkin sekarang dia udah mulai ngerasa nyaman sama kita-kita, lalu sifat aslinya keluar."

"Ga tau lah gue. Mungkin juga. Tapi mungkin juga enggak. Pokoknya gue capek Ra. Gue tuh cape berusaha ngertiin orang-orang. Gue tuh berasa ada di tengah-tengah. Lu sahabat gue, dia temen gue. Kalian berhenti ngobrol kayak dulu, gue yang jadi bingung harus menyikapinya gimana."

"Oke. Kalau gitu, gue nanti ngobrol deh sama Regi. Dan elu, Saci-ku sayang, ga perlu capek. Esensi dari 'ngertiin orang lain' adalah agar kita ga capek lagi mengharapkan sesuatu dari orang itu. Let go Ci. You can't make everyone happy. Inget prinsip Pareto Optimum?"

"Don't start economic lesson on me girl. I'm much better than you on that subject, right? Hehe."

"Yeah, right. Hehe."

***
Tidak adil rasanya menggunakan Saci sebagai alasan bahwa dirinya harus berbicara dengan Regi. Memang ada beberapa hal yang perlu dibicarakan. Apapun itu. Saci hanya salah satu pendorong, bukan faktor utama yang membuat pertemuannya dengan Regi kali ini sebuah kebutuhan jika tidak disebut keharusan. Masih, Tara bingung apa yang harus dibicarakan itu sebenarnya. Tara bukan orang yang biasa berpikiran rumit. Ia seringkali menyederhanakan suatu kejadian dalam satu tema besar di dalam otaknya, dan tanpa sengaja menghapus segala detailnya. Dan semua yang ingin dikatakannya pada Regi cuma bisa digambarkan Tara sebagai 'Kotak Pandora', sebuah benda yang sebaiknya tetap tertutup. Walaupun menurut alkisah, sesaat setelah Pandora membuka kotak itu dan semua hal yang tidak diinginkan keluar darinya, terdapat sebuah benda yang tersisa. Benda itu adalah 'hope,' harapan. Tetap saja, walaupun di sana ada harapan yang tersisa dan isi kotaknya ia yakini tidak semengerikan milik Pandora, Tara tidak yakin untuk membukanya.

Hubungan Tara dengan Regi tidak bisa dikatakan pacaran, tapi tidak bisa juga dikategorikan teman biasa, karena segala aktifitas yang mereka lakukan 'mirip' orang pacaran. Tara mengenal Regi empat bulan yang lalu. Pertemuan pertama yang biasa saja bisa menjadi sangat menyenangkan seiring berjalannya waktu. Regi bisa membuat Tara nyaman, dan tara mem-'fait accompli' perasaan itu sebagai cinta. Sudah terlambat bagi Tara saat menyadari bahwa semuanya berjalan terlalu cepat, karena ia sudah terlanjur menyatakan perasaannya pada Regi.

Saat Tara menyadari bahwa ia terlalu cepat mengambil langkah, gosip kedekatan mereka sudah menyebar di seantero kantor. Resiko dekat dengan teman sekantor memang tidak bisa dihindari. Antusiasme Saci untuk lebih mendekatkan mereka berdua lama-lama tidak membantu juga, malah melelahkan bagi Tara. Lebih melelahkan karena Tara tidak bisa mengeluhkan hal itu pada Saci, takut Saci tersinggung. Satu dan lain hal membuat Tara semakin yakin bahwa semuanya salah. Terlalu cepat. Dan pihak yang bersalah adalah dirinya sendiri. Tidak bisa tidak, ini semua harus diperbaiki. Tidak bisa kembali pada titik nol memang. Tapi bukan juga seperti nasi yang jadi bubur. Toh bubur pun bisa dijadikan lontong. Keengganan Tara untuk bicara pada Regi ditepisnya sudah. Terlebih mulai bulan depan ia akan pindah tempat kerja, meninggalkan Saci dan Regi serta teman-teman lainnya. Satu per satu, semuanya, harus diselesaikan.

***
Regi sepertinya sudah menunggu. Mata Tara yang rabun tanpa kacamata menangkap seorang lelaki muda tersenyum dan melambaikan tangan. Mereka lalu duduk di sofa sebuah restoran. Kalimat demi kalimat obrolan ringan mulai terlontar. Hingga malam tiba, dan akhirnya Tara mulai mengatakan apa yang ia pikirkan selama ini. Tanpa banyak detail, menjaga 'Kotak Pandora' agar tetap tertutup rapat.

"Aku buat kamu. I'm just another girl in another gossip about Regi Jayanto. Nanti Gi, saat aku udah pergi, akan ada orang lain yang masuk dalam hidup kamu. Dan siklus ini akan terjadi lagi. Seperti apa yang kamu pernah bilang ke aku, bahwa kemanapun kamu pergi, selalu digosipin sama si ini, sama si itu. Karenanya, nanti, kamu akan mendapat warna baru di hidup kamu. Another candle to lit upon. Dan kamu buat aku, untuk saat ini, you are still a significant someone. Because you lit my fire once. Entah di masa datang. Tapi selamanya, kita adalah teman."

Regi hanya terdiam. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Malam minggu mereka yang terakhir baru berakhir. Tapi akhir cerita lama adalah awal cerita baru. Seperti 31 Desember yang dirayakan hingga 1 Januari menyongsong, kenapa akhir ini tidak bisa ditutup dengan sorak sorai dan letupan kembang api yang menghias langit malam? Bisa saja. Kenapa tidak?

========
Fiksi.
Yeay! Finally, my new year's short story. Hihi. Credits to:
'Si Meong' Lilik Lestari. Semoga cerita kita tidak berakhir sampai disini. Keep on inspiring me dear, love you. :-*
'Si Kucing Tengil' Haikal Reza. As I always say, please be a great man in the future. Hope you'll find your passion soon. Thanks for letting me in as a cameo in your life. ;-)

0 comments:

Posting Komentar