...

I am strong, because I am weak...
I am beautiful, because I know my flaws...
I am a lover, because I have been afraid...
I am wise, because I have been foolish...
And I can laugh, because I’ve known sadness...
Feeds RSS
Feeds RSS

16 Sep 2010

Balada Dosen-Mahasiswa (1)

Profesionalisme & Senioritas

Sekitar tiga bulanan yang lalu, saya dapet tugas dari kantor buat ngedampingin staf pemberi tugas (sebut aja Ibu Y) dan ketua tim tenaga ahli (sebut aja Pak X) koordinasi ke daerah. Waktu itu saya males banget sama kerjaan ini. Ini nih yang tejadi kalau kita udah ga respect sama orang, jangankan buat mengakomodir si Bapak ini buat acara koordinasi yang harus ke luar kota, untuk ikut rapat di kantor sama beliau aja malesnya minta ampun. Sampe2 sebelom saya pergi, saya nulis catatan kecil di pinggir organizer yang bunyinya gini:

listen without prejudice!
clear your mind from skepticism!


Koordinasi di daerah dijadwalin mendadak, diskusi di hari Kamis, keluar keputusan fix berangkat besokannya, hari Jum'at 3 hari sebelum Hari-H. Ribet banget karena untuk ke daerah itu perlu persiapan transportasi pulang-pergi, pengajuan biaya, booking hotel, charter transport lokal, belum lagi menghubungi siapa aja orang daerah yang bakal didatengin. Untuk pesen tiket pesawat pulang-pergi harus selesai Jum'at itu juga, hari terakhir masuk kantor, untuk jadwal keberangkatan dan kepulangan yang belum pasti. Belum booking hotel yang ternyata full dimana-mana karena saat itu di sana lagi ada event internasional.

Tapi ke-hectic-an itu ga seberapa dibanding kejadian "after party"-nya. Totaly amazed dengan kejadian itu, saya jadi pengen nge-share sama temen2 semua. Kejadiannya di airport, waktu mau pulang ke Bandung (via Jakarta). Seperti biasa saya ngasih uang harian (honor) buat Ketua Tim yang notabene-nya adalah anggota internal dari kantor saya walaupun beliau adalah tenaga eksternal yang di-hire kantor (so technically beliau adalah tenaga honorer).

Singkat cerita, setelah saya ngasih uang harian ke Pak X, beliau keberatan dengan jumlahnya (kasarannya kurang lah ya..). Tapi saya jelasin, bahwa uang itu sesuai dengan anggaran awal, dan belum mempertimbangkan bahwa acara kita ini mulur waktunya, jadi nanti ada penyesuaian setelah kita tiba di Bandung (intinya, ntar deh ditambahin Pak.. sekarang saya takut duitnya kurang buat ongkos ;p). Tapi kayaknya Pak X ini ga terima gitu aja, walaupun beliau akhirnya bilang "ya sudahlah..."

Gong-nya waktu saya ke toilet, ternyata Pak X ini ngomongin kurangnya honor beliau ke ibu staf pemberi kerja yang notabenenya mantan mahasiswinya di kampus. For the record, Pak X adalah mantan dosen saya juga dan otomatis Ibu Y adalah temen kuliah saya juga (senior lebih tepatnya). Surprise..!! balik dari toilet saya diomel2in sama Ibu Y, yang intinya:
  1. Pak X adalah dosen kita, masa dikasi honor kecil;
  2. Akomodasi hotel dan flight ga memadai, secara Pak X adalah dosen kita;
  3. Uang harian dia (Ibu Y) itu harusnya dibayar dimuka, bukan belakangan;
  4. "As a human being" (itu pilihan kata yang dipake Ibu Y) honor Pak X tuh ga memadai, terlebih beliau adalah dosen kita; dan yang lebih mencengangkan
  5. Ibu Y udah menghubungi atasannya tentang hal ini (kurang honor dsb) dan atasannya itu nanti akan bicara dengan atasan saya langsung. Oleh karenanya saya ga usah ngomong apa2 sama kantor dan pura2 ga tau aja.
Pfhuiihh... keabsurdan ini membunuhku.. haha, lebay...
Yang bikin saya merasa absurd sama kejadian (dan omelan Bu Y) ini:
  1. Ketidakmampuan Ibu Y untuk membedakan pekerjaan dan hubungan personal. Emang bener Pak X adalah dosen kami, tapi itu dulu. Sekarang beliau adalah Tenaga Ahli yang di-hire oleh kantor saya, untuk mengerjakan project yang diberikan oleh kantornya Ibu Y. Satu lagi, bahwa Ibu Y saat ini, secara profesional, bukan lagi senior saya yang memiliki hak untuk menegur saya, karena posisi kita pada dasarnya adalah mitra. Jika ada yang berhak memarahi saya, maka yang paling berhak adalah bos saya, bukan beliau. Jadi, kalau Bu Y mau komplain tentang saya, silahkan bicarakan dengan atasan saya biar saya nanti dimarah2in si Bos.
  2. Ketidakmampuan Pak X untuk membedakan pekerjaan dan hubungan personal. Intinya idem sama yang di atas. Pak X masih menganggap saya dan Ibu Y sebagai mahasiswanya. Terlebih lagi, Pak X lupa kalau yang meng-hire beliau adalah kantor saya, which means, beliau adalah bagian internal dari kantor. Dari situ, beliau ga boleh mengumbar kekurangan (kalo ga bisa disebut aib) kantor sendiri, terutama ke pemberi kerja yang notabenenya klien kantor Pak X dan saya.
  3. Pak X sepenuhnya sadar, bahwa kebijakan kantor mengenai honor dan akomodasi sudah ditentukan sebelumnya. Dan sebagai bagian dari kontrak, pasti beliau sudah pernah membaca dan menyetujuinya. Oleh karena itu, Pak X seharusnya ga usah ngember tentang hal ini dong, terlebih sama klien.
  4. Keluhan Pak X dan Bu Y salah alamat. Saya bukan orang yang berwenang untuk mengubah kebijakan honor dan akomodasi, karena semuanya ada di manajemen. Jadi, mau disiksa sampe muncrat pun saya ga bakalan bisa naikin honor mereka. Huft ><"
Dengan maksud untuk menenangkan panasnya suasana Bu Y yang ngomelin saya (dan Pak X yang ngompor2in dan bersorak sorai di pinggir lapangan) , juga karena saya juga tau bahwa ikut2an flow mereka yang berkobar2 ga akan menyelesaikan masalah, akhirnya saya angkat bicara:
"Iya, saya tau. Tapi saya ga ada kewenangan untuk mengubah kebijakan ini. Saya hanya ditugasi mengurus substansi proyek. Gimana kalau Bapak dan Ibu list saja keluahannya, nanti saya sampaikan ke manajemen?"
Mungkin karena ngeliat ekspresi saya (yang ga bisa bohong) yang bete banget, akhirnya mereka stop berkicau. Khusus untuk Pak X, mungkin beliau takut kalau saya mogok kerja abis diomelin gini, secara semua substansi, report, dan administrasi (yang harusnya dikerjain Ketua Tim, Pak X) dibebankan ke saya dan temen2 asisten lainnya. Kebayang aja kalo saya bikin shock therapy "Pak, saya resign!", kehebohan apa lagi yang bakal terjadi. (lol)

Karena muka saya yang saat itu kayaknya udah ga enak banget diliat, Bu Y juga ngerem omelannya, dan bilang:
"Jangan dimasukkin ke hati ya. Dulu juga temen lo yang nanganin project ini gue marah2in. Lebih parah bahkan dari ini."
Mana bisa ga dimasukkin ke hati, ga tau apa orang ber-shio kerbau itu pendendam. Apalagi orang Sunda, ga gampang tersinggung tapi sekalinya disakitin pasti berbekas. Makanya, daripada muna saya jawab aja:
"Duh, ga bisa Bu. Kalau kayak gini ga mungkin ga saya masukin ke hati."
Setelah itu, perjalanan pun dilalui kami bertiga dalam diam (saya aja sih yang diem, mereka berdua masih ngobrol-ngobrol. Nampak banget mereka cari2 topik pengalih, karena sepertinya mereka agak merasa bersalah.

[bersambung ke bagian (2)]

0 comments:

Posting Komentar