...

I am strong, because I am weak...
I am beautiful, because I know my flaws...
I am a lover, because I have been afraid...
I am wise, because I have been foolish...
And I can laugh, because I’ve known sadness...
Feeds RSS
Feeds RSS
Tampilkan postingan dengan label Kebo's Movie Picks. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kebo's Movie Picks. Tampilkan semua postingan

1 Apr 2011

Past in Future

Haruskah berterimakasih pada mantan Si Pacar?

Tergelitik rasanya membaca posting teman saya Anggani dalam cuap-cuap syubidapapaaap. Katanya wanita suka sekali membahas sesuatu yang dia tahu bisa menyakiti hatinya sendiri. Seperti membicarakan mantan si pacar. Ketika si pria malas membahas hal ini, si wanita marah. Dan ketika si pria membahasnya dengan bergairah, si wanita lebih marah lagi. Nice post Ayang! ^^

Jika punya pacar, kita memang suka penasaran dengan masa lalunya. Saking sayangnya dengan si dia, secara tidak sengaja terbentuk rasa cemburu pada orang yang pernah mengisi hari-harinya dulu. Jadi penasaran wanita itu siapa dan bagaimana? Bahagiakan mereka saat masih bersama? Seberapa sedihkah saat berpisah? Masihkah mereka suka bertemu? Hingga kita yang semula cuek dengan segala keadaan, tiba-tiba berubah menjadi stalker. Penguntit. Memata-matai mantan si pacar mulai dari bertanya pada teman-temannya hingga mengetikkan nama mantan si pacar di search engine. Sungguh! Wanita cemburu sangat mengerikan. :))

Tapi jika diingat lagi. Wanita yang dulu itu adalah yang menjadikan pria yang kita sayangi saat ini sebagaimana dirinya. Jika ada kedewasaan sikap dalam memecahkan masalah yang dihadapi saat ini, mungkin itu adalah buah dari persoalan yang pernah dihadapinya dulu.

Saya jadi teringat film Stepmom (1998) yang dibintangi Susan Sarandon dan Julia Roberts. Memang ini bukan tentang pacar-pacaran. Tapi benang merahnya sama. Kisahnya kisah cinta. Lebih dalam dari rasa antar pacar, film ini mengangkat cinta ibu-anak. Alkisah Susan Sarandon yang memiliki dua orang anak bercerai dengan suaminya. Si suami lalu menikah lagi dengan Julia Roberts, yang otomatis menjadi ibu tiri dari anak-anaknya. Di sini lah terjadi konflik. Antara istri dan mantan istri. Antara anak dan ibu tiri. Julia Roberts mencoba mati-matian untuk menjadi ibu tiri yang baik. Sementara Susan Sarandon mencoba mati-matian agar dirinya tetap menjadi ibu yang terbaik.

Di kemudian hari diketahui bahwa Susan mengidap kanker ganas dan tidak bisa tertolong lagi. Friksi antara mantan istri dan istri baru yang terjadi antara Susan dan Julia kemudian hilang sudah seiring dengan keduanya berbincang tentang masa depan Anna, anak perempuan Susan. Julia mengatakan bahwa ketakutannya yang terbesar adalah kelak ketika Anna menikah, satu-satunya hal yang diinginkannya adalah melihat ibu kandungnya. Sementara Susan mengatakan, bahwa ketakutan terbesarnya adalah dilupakan anak-anaknya setelah ia pergi nanti. Di akhir cerita, Julia yang seorang fotografer profesional, mengambil foto Susan dengan kedua anaknya.

Sementara, line yang paling menyentuh saya dalam film ini adalah ketika Susan berkata pada Julia:
"They can have us both. I have their past. You can have their future."
("Mereka bisa memiliki kita berdua. Saya memiliki masa lalu mereka. Kamu bisa memiliki masa depannya")

Kembali pada konteks pacar-pacaran, terkait dengan line dalam salah satu film favorit saya tadi. Mantan si pacar adalah orang yang memiliki masa lalu orang yang kita sayangi saat ini. Tapi kita adalah orang yang memiliki hari ini dan nanti. Entah hingga kapan.

Jadi haruskah berterima kasih? Mungkin ya. Karena segala pahit manis pengalamannya dari hubungan terdahulu membentuk si dia yang kita sukai saat ini. Tapi rasa memiliki yang kuat membuat ketidakrelaan untuk berbagi. Bahkan dengan waktu, dengan masa lalu. :)

***
Curcol! (^_^)
Saat menuliskan line favorit saya di atas, jantung saya berdegup sangat kencang. Pfhuih... (_ _")

30 Mar 2011

Luka Batin

Everybody has Scars.

Luka batin. Dua kata ini jika digabungkan akan terdengar seperti lagu dangdut Evie Tamala. Slow-mellow-sendalswallow. Tapi saya tidak punya padanan kata yang bisa menggambarkan maknanya dengan lebih keren. Jadi marilah kita berdangdut ria. Toh Project Pop pernah bilang bahwa "Dangdut is the Music of My Country."

Luka batin adalah istilah yang sangat sering terucap dalam obrolan saya dengan salah seorang teman ketika pulang kerja. Menurut teman saya, luka batin adalah sebab dari tingkah tidak menyenangkan bos-bosnya di kantor. Saya jadi berpikir, mungkin luka batin juga yang menyebabkan mbak sekretaris di ruangan saya jadi menakutkan. Konon katanya, dulu saat muda hatinya pernah disakiti oleh seorang laki-laki yang sekarang sudah memiliki jabatan cukup tinggi di kantor kami. Lelaki ini konon tampan dan pintar tapi tidak mampu berkomitmen, suka mempermainkan wanita. Mbak sekretaris yang menjadi salah satu korbannya, hingga kini tidak menikah, menjadi sedikit judes, galak, dan tidak menyenangkan. Sahabat saya seruangan, saat pertama kali masuk, memperingatkan saya akan si mbak sekretaris. Dia bilang sabar-sabar dengan mbak yang satu itu. Dia juga berharap si mbak cepat menemukan pasangan baru dan menikah, agar lebih toleran.

Luka batin juga mungkin yang menyebabkan bapak saya memanjakan saya dan adik-adik saya, karena beliau tidak mendapat perhatian yang cukup saat tumbuh dewasa. Luka batin juga mungkin yang membuat ibu saya selalu memberikan baju dan barang-barang baru saat saya atau adik-adik saya akan pergi ke luar kota, karena dulu beliau datang dari keluarga yang sangat sederhana. Mungkin luka batin juga yang membuat salah seorang teman saya memasang foto profil berlatar hitam yang bertuliskan "remember the pain and transform it into strength." Untuk saya sendiri, meski tidak luka parah, mungkin luka batin ini yang membuat alam bawah sadar saya selalu berbisik "don't fall, you'll get hurt." Mungkin.

Luka batinlah yang membuat seorang guru tega memasukan darah yang terinfeksi HIV ke dalam susu kotak yang diminum siswa-nya setiap pagi. Luka batin yang membuat seorang siswa memasang bom di podium saat perayaan kelulusan agar ia dan teman-teman sekelasnya bisa mati bersama. Haha. Menegangkan ya? Adegan dalam paragraf ini adalah cuplikan J-Movie yang beberapa hari lalu saya tonton di kost. Judulnya "Confessions," highly recomended!

Yang jelas, di kehidupan nyata, luka batin mampu membuat seorang ibu menyuruh orang untuk membunuh anak kandungnya sendiri pada bulan Februari lalu. Motifnya karena si ibu sakit hati dengan perlakuan kasar anaknya. Padahal ada pepatah, sebuas-buasnya ibu macan tidak akan memakan anaknya sendiri. Betapa mengerikan dampak dari sebuah luka.

Jadi teringat pembahasan dalam salah satu sesi pengajian yang rutin saya ikuti. Waktu itu topiknya berkaitan dengan isu psikologi, tentang perkembangan manusia. Pak Ustadz membandingkan titik awal manusia. Kata beliau dalam ajaran agama Islam manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah namun memiliki kecenderungan pada kebaikan, sementara menurut Abraham Maslow (kalau saya tidak salah ingat) manusia dilahirkan dalam keadaan bersih seperti secarik kertas putih namun tanpa kecenderungan baik/buruk. Tapi saya tidak akan panjang lebar membahas dan membandingkan kedua hal ini, toh relevansinya kecil. Hanya saja, hal ini mengantarkan saya pada kesimpulan bahwa setiap manusia pada dasarnya baik. Namun, along the way, terjadi hal-hal tidak menyenangkan dalam hidup yang membuat kita resisten, defensif. Hal itu adalah luka batin. Akhirnya, kita jadi harus berhati-hati untuk tidak membuat luka pada orang lain. Karena luka batin memungkinkan untuk mengubah orang yang baik jadi menyeramkan.

***
Curcol! (^_^)
Akhir-akhir ini, susah sekali mencuri waktu untuk menulis. Padahal banyak sekali topik yang ingin ditulis. Biasanya nanti, ketika waktunya ada, topiknya sudah terlalu basi. Malangnya saya. Haha. Mulai mengasihani diri sendiri. :P