...

I am strong, because I am weak...
I am beautiful, because I know my flaws...
I am a lover, because I have been afraid...
I am wise, because I have been foolish...
And I can laugh, because I’ve known sadness...
Feeds RSS
Feeds RSS

22 Sep 2010

Ketika Si Meong Ga Nerima Telepon

ichigo ichi - one life, one opportunity

Dear Meong,

Kamu bilang mau denger complete story tentang malem ini. Aku bilang aku telepon kamu abis Ibuku selesai ngobrol sama aku. Kamu bilang kamu mau nge-charge handphone, dan on setengah jam lagi. Aku tunggu sampe lebih dari dua jam, handphone kamu ga aktif-aktif. Sekarang tinggal 2 menit menuju besok. Kayaknya aku mau tidur aja.

Tapi aku kasitau ya Meong. Hari ini aku udah ngelaksanain niat yang aku ceritan ke kamu. What happened was not perfect. The result have not yet shown. Tapi setidaknya aku udah tenang. Heran deh. Kalau dia marah aku jadi deg-degan. Tapi pas aku ... tadi, aku ga kenapa-napa setelahnya. Aku bener-bener tenang.

I did it. Whatever the result will be. Sekarang udah hari lain. Dua menit lepas 00:00 WIB. Wish me luck, as I always wish you luck.

(^^)v ~v for victory... haha

18 Sep 2010

Balada Dosen-Mahasiswa (2)

Values

Perjalanan Solo-Jakarta yang seharusnya cuma makan waktu 1 jam jadi luar biasa lama kalau dilalui bareng seseorang yang lagi kita sebelin (apalagi ini, dua orang... hmmmph...). Selama perjalanan, biar ga terlalu keliatan bete (walaupun ekspresi ga pernah bisa bohong), saya mencoba ikutan sama pembicaraan mereka.
...
"Oh iya Bu, mobil saya transmisi manual. Oo.. mobil Ibu matic."
...
"Iya Pak, dulu saya pake KIA Visto, sekarang saya pake Avanza."
...
"Iya, Visto irit, mobil kota. Sekarang Avanza juga irit kok."
...
"Mmm.. gatau ya Pak, saya pakai Pertamax."

Semua pembicaraan seperlunya itu terasa ga berujung. Ditambah posisi duduk saya yang waktu itu diantara Pak X dan Ibu Y. Pura2 tidur pun susah. Soalnya Ibu Y, ga berhenti2 ngajak ngobrol Pak X. Sucks, tau gitu, tadi saya duduk di seat yang deket gang aja. Sambil merem2 ayam saya bertekad dalam hati. Nanti, pas dah landing di Cengkareng, saya mau ke toilet terus ngamplopin lagi buat Pak X dan Bu Y ini. Capek, biar beres dan ga banyak omong lagi, udah kesel banget soalnya. ><" Sampai di Cengkareng, waktu beliau2 ini nunguin bagasi (yang kebetulan saya ga bawa banyak bawaan jadinya ga masuk bagasi), saya ijin ke toilet. Mainly buat ngisi amplop buat ni orang dua. Secepat yang saya bisa, saya ngitung uang sisa yang ada dan ngeluarin dua amplop putih dan ballpoint. Amplop Pak X, saya isi tambahan uang harian seperti yang beliau minta (ekstra 1 hari), pengganti uang transport lokal seperti yang beliau minta juga (walaupun nominal yang beliau sebutin overwhelmingly ridiculous *masa uang taxi 600ribu?! nyewa mobil aja sekalian), dan uang pengganti airport tax keberangkatan beliau yang waktu itu ga saya dampingi. Amplop Ibu Y, saya isi uang harian beliau. Walaupun di perjanjian awal, Ibu Y setuju uang hariannya ditransfer ke rekeningnya aja, sekalian uang penggantian deposit hotel yang waktu check-in belom saya dampingin juga. Ga lupa kedua amplop itu saya namain, khusus untuk Pak X ditulisin rinciannya juga. Biar clear dan ga nanya2 mulu. Selesai itu, kami semua makan malam bareng di bandara, walaupun sebenenya saya udah pengen pulang banget, tapi si Pak X ngotot laper. Sebagai orang yang bertugas mengakomodasi beliau, saya terpaksa makan juga (walaupun selera makannya udah ketutupan sama emosi jiwa, wkwkwk). Setelah makan, amplopnya saya kasi.

And the reaction was:
"Lho, kok gini sih? Jadi ga enak nih saya..." kata Pak X sambil tetep nerima uangnya.
"Lho, kok gini sih? Lo ga pake duit lo sendiri kan? Lo gapapa? Lo ada ongkos balik ke Bandung? Duh, gue jadi ga enak nih..." kata Ibu Y.
"Udah gapapa Pak, Bu, saya ada kok ongkos pulang" jawab saya, "Saya mau ngejar Primajasa Pak, Bu, saya duluan ya."
Mereka yang masih terbengong2 akhirnya melepas saya pergi, dengan Pak X mengucap kata terakhir:
"Duh, kok jadi aneh gini ya. Oke. Hati2 ya. Termakasih banyak."

Aneh ya Pak? Akhirnya, Bapak nyadar juga dengan segala keanehan ini. Saya aja udah nyadar dari tadi.

Hal yang paling mengecewakan dari bussiness trip ini tuh bukan karena dengan hectic-nya saya harus mempersiapkan perjalanan ini, bukan juga karena saya harus stuck dengan dua orang yang membuat saya ga nyaman berada di dekat mereka, bukan juga karena kegiatan menurut saya jauh dari efektif dan cenderung ngabisin waktu dan tenaga tanpa tujuan yang benar2 clear, dan bukan juga karena di "after party" saya diomel2in sama kakak angkatan saya.

Secara ga langsung, Pak X, (mantan) dosen saya ini udah nunjukkin sikap2 yang membuat saya semakin ga respect sama beliau. Apalagi sebelum kita terbang ke Jakarta beliau ngasih "nasehat" buat saya yang bunyinya gini:
"Saya tuh ya, dulu, waktu muda... Kalau pergi ke luar kota seperti ini tuh kesempatan buat saya untuk 'dapat lebih'..."
Apapun itu maksudnya. Just, whatever... (_ _")

Ternyata, seorang dosen, yang dulu saya liat sebagai sosok yang berdiri di puncak menara gading, seorang yang dihormati karena keilmuannya, yang dibuktikan dengan predikat doktoralnya, melihat capaian pekerjaannya dari nilai rupiah. Bahwa refleksi dari karirnya adalah uang. Yang lebih bikin saya miris, refleksi karir berupa uang itu embeded terhadap atribut beliau sebagai seorang yang bergelar doktor. Kesannya "karena gue doktor, gue harus dibayar tinggi", terus lagi terkadang predikat doktornya digunakan saat beliau ingin menangkis opini orang lain yang dianggap masih junior: "karena gue doktor, lo harus dengerin omongan gue, nih pengalaman gue dari muda. Lo mah anak kemaren sore, lo salah gue bener." Refleksi itu juga terlihat ketika Bapak ini juga bilang:
"Saya tuh kalau kerja harus enak. Makan enak, hotel harus ada air hangat,..." dsb dst...
Tapi pada kenyataannya, setelah akomodasi tersebut disediakan pun, substansi yang seharusnya beliau kerjakan di-cover oleh asisten seperti saya dan teman2 lainnya.

Kemana larinya 'ilmu padi' yang ditanamkan orang tua dan guru2 kita sejak SD?
Tapi tunggu, dosen juga guru kan??

Dan untuk Ibu Y tersayang, pola2 kerja yang hanya mengandalkan upaya menyenangkan orang lain ga akan berhasil di jaman sekarang ini. Trust me, altough I'm still young, it just wont work! Saat bareng sama Pak X, Ibu mencoba menyenangkan beliau agar dihargai. Saat bareng atasan Ibu, Ibu juga mencoba untuk menyenangkan beliau. Tapi Ibu lupa, kalau posisi itu selalu berganti. Atasan Ibu yang sekarang belum tentu menjadi atasan Ibu nanti. Pak X yang Ibu servis abis-abisan saat ini juga ga punya posisi yang kekal untuk menjamin kerjaan Ibu 'kepake' oleh beliau. Pak X, dengan kinerjanya yang seperti itu, most likely ga akan kepake lagi walaupun beliau bergelar doktor (unless he changes).

So why don't we focus on our tasks. Bekerja sepenuh hati dan melihat capaian pekerjaan dari level of fullfilness yang lebih dalam. Happiness. Kepuasan ketika bekerja keras dan melihat hasil kerja yang lebih baik juga. And, maybe if we're lucky, the money will follow too.

16 Sep 2010

Balada Dosen-Mahasiswa (1)

Profesionalisme & Senioritas

Sekitar tiga bulanan yang lalu, saya dapet tugas dari kantor buat ngedampingin staf pemberi tugas (sebut aja Ibu Y) dan ketua tim tenaga ahli (sebut aja Pak X) koordinasi ke daerah. Waktu itu saya males banget sama kerjaan ini. Ini nih yang tejadi kalau kita udah ga respect sama orang, jangankan buat mengakomodir si Bapak ini buat acara koordinasi yang harus ke luar kota, untuk ikut rapat di kantor sama beliau aja malesnya minta ampun. Sampe2 sebelom saya pergi, saya nulis catatan kecil di pinggir organizer yang bunyinya gini:

listen without prejudice!
clear your mind from skepticism!


Koordinasi di daerah dijadwalin mendadak, diskusi di hari Kamis, keluar keputusan fix berangkat besokannya, hari Jum'at 3 hari sebelum Hari-H. Ribet banget karena untuk ke daerah itu perlu persiapan transportasi pulang-pergi, pengajuan biaya, booking hotel, charter transport lokal, belum lagi menghubungi siapa aja orang daerah yang bakal didatengin. Untuk pesen tiket pesawat pulang-pergi harus selesai Jum'at itu juga, hari terakhir masuk kantor, untuk jadwal keberangkatan dan kepulangan yang belum pasti. Belum booking hotel yang ternyata full dimana-mana karena saat itu di sana lagi ada event internasional.

Tapi ke-hectic-an itu ga seberapa dibanding kejadian "after party"-nya. Totaly amazed dengan kejadian itu, saya jadi pengen nge-share sama temen2 semua. Kejadiannya di airport, waktu mau pulang ke Bandung (via Jakarta). Seperti biasa saya ngasih uang harian (honor) buat Ketua Tim yang notabene-nya adalah anggota internal dari kantor saya walaupun beliau adalah tenaga eksternal yang di-hire kantor (so technically beliau adalah tenaga honorer).

Singkat cerita, setelah saya ngasih uang harian ke Pak X, beliau keberatan dengan jumlahnya (kasarannya kurang lah ya..). Tapi saya jelasin, bahwa uang itu sesuai dengan anggaran awal, dan belum mempertimbangkan bahwa acara kita ini mulur waktunya, jadi nanti ada penyesuaian setelah kita tiba di Bandung (intinya, ntar deh ditambahin Pak.. sekarang saya takut duitnya kurang buat ongkos ;p). Tapi kayaknya Pak X ini ga terima gitu aja, walaupun beliau akhirnya bilang "ya sudahlah..."

Gong-nya waktu saya ke toilet, ternyata Pak X ini ngomongin kurangnya honor beliau ke ibu staf pemberi kerja yang notabenenya mantan mahasiswinya di kampus. For the record, Pak X adalah mantan dosen saya juga dan otomatis Ibu Y adalah temen kuliah saya juga (senior lebih tepatnya). Surprise..!! balik dari toilet saya diomel2in sama Ibu Y, yang intinya:
  1. Pak X adalah dosen kita, masa dikasi honor kecil;
  2. Akomodasi hotel dan flight ga memadai, secara Pak X adalah dosen kita;
  3. Uang harian dia (Ibu Y) itu harusnya dibayar dimuka, bukan belakangan;
  4. "As a human being" (itu pilihan kata yang dipake Ibu Y) honor Pak X tuh ga memadai, terlebih beliau adalah dosen kita; dan yang lebih mencengangkan
  5. Ibu Y udah menghubungi atasannya tentang hal ini (kurang honor dsb) dan atasannya itu nanti akan bicara dengan atasan saya langsung. Oleh karenanya saya ga usah ngomong apa2 sama kantor dan pura2 ga tau aja.
Pfhuiihh... keabsurdan ini membunuhku.. haha, lebay...
Yang bikin saya merasa absurd sama kejadian (dan omelan Bu Y) ini:
  1. Ketidakmampuan Ibu Y untuk membedakan pekerjaan dan hubungan personal. Emang bener Pak X adalah dosen kami, tapi itu dulu. Sekarang beliau adalah Tenaga Ahli yang di-hire oleh kantor saya, untuk mengerjakan project yang diberikan oleh kantornya Ibu Y. Satu lagi, bahwa Ibu Y saat ini, secara profesional, bukan lagi senior saya yang memiliki hak untuk menegur saya, karena posisi kita pada dasarnya adalah mitra. Jika ada yang berhak memarahi saya, maka yang paling berhak adalah bos saya, bukan beliau. Jadi, kalau Bu Y mau komplain tentang saya, silahkan bicarakan dengan atasan saya biar saya nanti dimarah2in si Bos.
  2. Ketidakmampuan Pak X untuk membedakan pekerjaan dan hubungan personal. Intinya idem sama yang di atas. Pak X masih menganggap saya dan Ibu Y sebagai mahasiswanya. Terlebih lagi, Pak X lupa kalau yang meng-hire beliau adalah kantor saya, which means, beliau adalah bagian internal dari kantor. Dari situ, beliau ga boleh mengumbar kekurangan (kalo ga bisa disebut aib) kantor sendiri, terutama ke pemberi kerja yang notabenenya klien kantor Pak X dan saya.
  3. Pak X sepenuhnya sadar, bahwa kebijakan kantor mengenai honor dan akomodasi sudah ditentukan sebelumnya. Dan sebagai bagian dari kontrak, pasti beliau sudah pernah membaca dan menyetujuinya. Oleh karena itu, Pak X seharusnya ga usah ngember tentang hal ini dong, terlebih sama klien.
  4. Keluhan Pak X dan Bu Y salah alamat. Saya bukan orang yang berwenang untuk mengubah kebijakan honor dan akomodasi, karena semuanya ada di manajemen. Jadi, mau disiksa sampe muncrat pun saya ga bakalan bisa naikin honor mereka. Huft ><"
Dengan maksud untuk menenangkan panasnya suasana Bu Y yang ngomelin saya (dan Pak X yang ngompor2in dan bersorak sorai di pinggir lapangan) , juga karena saya juga tau bahwa ikut2an flow mereka yang berkobar2 ga akan menyelesaikan masalah, akhirnya saya angkat bicara:
"Iya, saya tau. Tapi saya ga ada kewenangan untuk mengubah kebijakan ini. Saya hanya ditugasi mengurus substansi proyek. Gimana kalau Bapak dan Ibu list saja keluahannya, nanti saya sampaikan ke manajemen?"
Mungkin karena ngeliat ekspresi saya (yang ga bisa bohong) yang bete banget, akhirnya mereka stop berkicau. Khusus untuk Pak X, mungkin beliau takut kalau saya mogok kerja abis diomelin gini, secara semua substansi, report, dan administrasi (yang harusnya dikerjain Ketua Tim, Pak X) dibebankan ke saya dan temen2 asisten lainnya. Kebayang aja kalo saya bikin shock therapy "Pak, saya resign!", kehebohan apa lagi yang bakal terjadi. (lol)

Karena muka saya yang saat itu kayaknya udah ga enak banget diliat, Bu Y juga ngerem omelannya, dan bilang:
"Jangan dimasukkin ke hati ya. Dulu juga temen lo yang nanganin project ini gue marah2in. Lebih parah bahkan dari ini."
Mana bisa ga dimasukkin ke hati, ga tau apa orang ber-shio kerbau itu pendendam. Apalagi orang Sunda, ga gampang tersinggung tapi sekalinya disakitin pasti berbekas. Makanya, daripada muna saya jawab aja:
"Duh, ga bisa Bu. Kalau kayak gini ga mungkin ga saya masukin ke hati."
Setelah itu, perjalanan pun dilalui kami bertiga dalam diam (saya aja sih yang diem, mereka berdua masih ngobrol-ngobrol. Nampak banget mereka cari2 topik pengalih, karena sepertinya mereka agak merasa bersalah.

[bersambung ke bagian (2)]

Lana's Songs (2)

Kiwi's High School Crush

Bosan mendengar CD, Lana switch stereo mobilnya ke siaran radio.

"sweet kiwi... you're juice is dripping down my chin... so please let me... don't sop me before it begins..."
[maroon 5's Kiwi]

Lagi-lagi Lana senyum-senyum dengerin lagu yang diputar station radio yang dipilihnya secara acak. "Sweet Kiwi, where are you now?" pikir Lana. Kontradiktif sama liriknya Maroon 5, Kiwi bukan tipe flirty girl, beda dengan Lana. ;p

Mengingat-ingat obrolan terakhir dengan Kiwi membuat Lana sedikit menyesal. Pertama karena Lana membohongi Kiwi dan dirinya sendiri dengan kata-katanya itu. Kedua karena tindakan Lana dulu bisa disebut menyia-nyiakan pengorbanan Kiwi untuknya. Ketika itu Lana belum meyadari bahwa yang perlu dipahaminya bukanlah rasa bersalah karena pengorbanan sahabatnya itu, tetapi kebahagiaan sang sahabat ketika memberikan Lana kesempatan untuk berbahagia atas pengorbanannya.

"Lo ga boleh giti Wi... Lo ga boleh benci sama Ardi... Siapa tau dia beneran jadi laki lo suatu saat nanti..." kata-kata terakhir Lana pada Kiwi membuat hatinya sesak, walaupun dulu ia mengatakannya sambil tersenyum ceria.

Ya, pengorbanan Kiwi buat Lana adalah Ardi.

...

Tujuh tahun yang lalu adalah pertama kali Lana bertemu Kiwi. Saat itu mereka berdua adalah mahasiswa baru lain jurusan yang dipertemukan dalam acara OSPEK kampus. Kiwi adalah teman pertama Lana di kelompok OSPEK yang dibagi secara acak untuk mendekatkan mahasiswa baru yang berlainan jurusan. Kiwi anak Farmasi, Lana anak Plano, sisanya dari Teknik Mesin, Geodesi, Matematika, Teknik Industri, dan Desain Komunikasi Visual.

Nama Kiwi memang terdengar seperti sejenis buah-buahan, agak aneh untuk nama orang Indonesia. Itu karena nama aslinya memang bukan Kiwi. Cuma Lana yang memanggilnya begitu. Kadang-kadang kalau jahilnya kumat, Lana memanggil temannya ini dengan tambahan huruf "L", Kiwil, nama pelawak di televisi yang suka menirukan Ustadz Zainudin MZ. Nama asli Kiwi sebenarnya Pertiwi Ayu, turunan Jawa yang lahir, tinggal, dan besar di Bogor. Kiwi ceria, bawel, dan heboh. Ke-PD-annya kadang buat Lana geleng kepala. Menurut Lana, semua sifat Kiwi ini bertolak belakang dengan sifatnya sendiri. Lana senang berpendapat bahwa dia adalah anak yang pendiam. Setidaknya itu pendapat Lana.

Hari itu, Open House Unit kegiatan mahasiswa kampus, Kiwi dengan kehebohannya mengajak Lana yang ogah-ogahan untuk berkeliling melihat semua Unit Kegiatan Mahasiswa yang ada. Sampai akhirnya, langkah mereka terhenti di depan Tugu Soekarno.

"Kok lo berhenti disini sih Wi, ini kan ditengah-tengah pertigaan. Malu tau! Geser pinggir dikit berdirinya."

"Lan, liat deh cowok yang berdiri di deket Kokesma. Dia yang gue ceritain kemaren, gebetan gue, Si Ardi"

"Mana? Yang pake kaos Balthazor? Kok jelek sih Wi?"

Balthazor adalah sebutan buat kakak senior yang berperan sebagai bad guy di acara OSPEK angkatan Lana. Mereka memakai kaos hitam bersablon gambar setan berwarna merah. Sejauh yang Lana lihat, Balthazorlah yang kaos seragamnya paling keren dari semua kaos panitia yang ada saat itu. Ini membuat Lana ingin menjadi bad guy di acara OSPEK tahun depan. "Semoga" pikirnya.

"Yeee, bukan abang-abang yang item! Itu, yang sebelahnya. Yang putih. Cakep ga menurut lo?"

"Hoo.. ah biasa aja. Pendek menurut standar gue sih." salah satu kriteria gebetan Lana memang tinggi badan.

"Iiiih, cakep tau. Cakep. Iya kan? Harus iya!"

"Iya deh iya. Biar cepet."

Itulah pertama kali Lana bertemu dengan Ardi. Saat itu Lana belum tahu, sejauh mana dia akan terlibat dengan kedua kenalan barunya ini.

...

Ardi memang bukan tipenya Lana. Tinggi 165, muka cute, kulit putih bersih yang merona merah kalau kepanasan. Buat Lana, bukan physical attraction yang membuat seorang cowok layak dijadikan gebetan tapi lebih ke kenyamanan dan sense of humor. Tapi bohong ;p. Lana lebih suka cowok tinggi. Ditambah karakter yang membuat nyaman dan sense of humor tadi tentunya.

Ardi adalah motivasi utama Kiwi masuk kampus ini. Motivasi yang sederhana dan cenderung naif menurut Lana. Walaupun demikian Kiwi tetap mengagumkan. Untuk masuk ke kampus mereka, kira-kira setiap tahunnya ada 200 ribu pelajar yang ikut berkompetisi untuk memperebutkan quota 3000 mahasiswa saja. Apalagi Kiwi lolos ke salah satu jurusan dengan passing grade yang terbilang tinggi. Farmasi, menurut Lana, adalah jurusan terfavorit buat pelajar cewek yang mau masuk kampus ini tapi ga mau dikerubutin cowok, karena kampus ini memang kebanyakan diisi cowok. Katanya rasio cowok cewek di kampus ini 70:30.

"Gue tuh ngecengin dia sejak SMA kelas satu Lan. Kan dia anak baru, pindahan dari Jakarta. Dia masuk di kelas 2."

Lana dengan sabar mendengarkan temannya berceloteh. Menurut Lana, cara terbaik untuk menjalin pertemanan adalah dengan menjadi pendengar yang baik.

"Gue tuh masuk sini karena dia kuliah disini. Dulu pas mau SPMB gue nyengajain maen ke rumahnya. Rumahnya bagus loh Lan, rumah kayu gitu. Keren deh pokoknya. Terus gue ketemu dia buat konsultasi gue bagusnya kuliah dimana."

"Konsultasi apa konsultasi", pikir Lana tanpa menyela Kiwi, "Ngapain konsultasi sama cowok, ada juga gue konsultasi ke guru BK. Nyari-nyari alesan banget ni anak"

"Duh Lan, dia tuh baek banget. Pas gue bilang kalo gue mau masuk ITB, dy bilang 'ya, yang semangat aja ya' terus dia ngasih gue doa"

"Ngasi doa? Kiayi apa ya ni cowok?" pikir Lana lagi, "Lagian jelas aja Si Ardi baek, masa ada cowok yang didatengin cewek ke rumahnya dengan muka semupeng Kiwi , ga akan ke-GR-an. Ya pastilah dibaek-baekin, kayak artis aja kalo jumpa fans. Heran deh ni anak."

Buat Lana yang cenderung lempeng soal hubungan cewek-cowok selama ini, perilaku Kiwi agak absurd. Tapi toh, belum ada satu pun cowok yang bikin Lana head over heels, jadinya kekaguman Kiwi terhadap Ardi masih Lana maklumi.

[to be continued]


8 Sep 2010

Ini Katanya, Bedanya Suka, Sayang, dan Cinta

Just when I want to stop, something came up...

...and then, the feeling lingers on
dibilang ga boleh suka sama orang karena kasian
tapi bukannya kasian dan sayang tuh bedanya tipis
makanya kedua kata itu suka digabung: "kasih-sayang"

tapi enggak juga
katanya kedua perasaan itu bisa dibedain dengan mudah
"kalau kasian, terus orang yang kita kasihani itu menyakiti kita... rasa kasian itu bakal hilang...
tapi kalau suka beneran, kalau kita disakiti atau dikecewakan... kita tetep bakal suka sama orang itu"

setelah obrolan yang tadi itu, kebo jadi inget sama temen kebo pas kuliah yang pernah iseng2 sms kebo yang isinya perbedaan rasa suka, sayang, sama cinta... sayangnya sms itu udah kehapus... untungnya, ternyata kebo pernah nge-save postingan yang isinya hampir sama...

Well, here goes:

Suka adalah saat kamu ingin memiliki seseorang...
sayang adalah saat kamu ingin membahagiakan orang itu...
dan cinta adalah saat kamu akan berkorban untuk orang itu...

Saat kamu bersedih dan menangis maka seseorang yg 'menyukaimu' akan berkata 'sudahlah jangan menangis lagi' ...
tapi seseorang yang ‘menyayangi’ akan diam dan ikut menangis bersamamu...
dan seseorang yang ‘mencintaimu’ akan membiarkanmu menangis dan menunggumu hingga tenang lalu berkata ‘mari kita selesaikan ini bersama’ ...

Saat seseorang yg menyukaimu berada disampingmu maka dia akan bertanya ‘bolehkah aku menciummu?’ ...
tapi seseorang yg menyayangimu akan berkata ‘biarkan aku memelukmu’...
dan seseorang yg mencintaimu takkan berbicara...
dia hanya akan selalu memegang erat tanganmu seakan dia takkan mau membiarkanmu terjatuh...

Saat kamu menyukai seseorang dan seseorang itu menyakitimu maka kamu akan marah dan takkan mau lg berbicara dengannya..
tapi jika kamu menyayangi seseorang dan seseorang itu menyakitimu maka kamu akan menangis karenanya..
dan jika kamu mencintai seseorang dan seseorang itu menyakitimu maka kamu akan tersenyum walau itu pahit dan berkata ‘dia hanya belum tahu apa yg dia lakukan’ ...

Suka hanyalah keegoisan diri sendiri…
sayang adalah memberi dan menerima..
dan cinta adalah rela berkorban…

Suka hanya akan berbuat jika itu menyenangkan...
sayang berbuat karena ingin selalu ada untuknya...
dan cinta berbuat karena tak ingin membuatnya terluka tak peduli bagaimana keadaan kita...*


Gara-gara posting itu, kebo jadi mikir lagi
"well then, where do I stand...?"

*repost dr Kaskus... lupa tapinya Agan yang posting siapa, udah lama sih... (^.^)v peace